Sabtu, 31 Agustus 2013

POLITIK ARSITEKTUR DAN RUANG KOTA DI PAPUA; Catatan Untuk Para “Perencana” Kota, dan Bangunan


Kota Jayapura (Foto. Yunus)
Pemekaran Provinsi dan Kabupaten di tanah Papua yang sedang giat dilakukan saat ini adalah jawaban atas kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Papua. Namun dipihak lain,  pemekaran itu adalah sebuah  lahan “subur” untuk “menanam, meninggalkan, membangun” politik penguasa di bidang arsitektur dan ruang-ruang kota di Papua. Baik di tingkat Provinsi, Kabupaten dan Kecamatan. Dan pemekaran adalah “bukan politik jabatan semata”. Tetapi persoalan mendasar adalah  politik arsitektur dan penataan ruang-ruang kota tanpa identitas. Undang-undang no 21 Tahun 2001, tentang otonomi khusus Papua, tidak mengatur tentang bagaimana kota-kota dan bangunan di Papua itu dirancang (ditata).
Tetapi, didalam undang-undang itu hanya mengatur bagaimna dana otonomi khusus [triliun rupiah] itu digunakan.  Hal ini menandakan bahwa tanah dan manusia Papua, akan kehilangan dan krisis identitas (arsitektur dan ruang kota). Kota-kota dan bangunan hadir tanpa suatu metode dan indetitas yang jelas. Sehingga konsep yang digunakan itupun kaku, keliru berbau akulturasi, politis
dan tanpa acuan yang jelas.  Dimanapun dan kapanpun hal ini akan terjadi. Pemekaran kota dan wilayah adalah menata ruang kota dan  citra bangsa (penguasa). Namun yang menjadi pertanyaan adalah menata bangsa apa? Apa konsep perancagan dalam perencanaan kota dan bangunan? Mengapa harus mengadopsi arsitektur Joglo? Bukankah setiap daerah memiliki kultur (letak geografis) yang berbeda? Karena ia merupakan suatu jawaban atas persoalan politik.  Produk yang akan dihasilkan dari konsep perancangan dan perencanaan (arsitektur maupun ruang kota) akan terbentuk seperti orang (desainer) yang akan merenacakan itu. Entah siapa, arsitek, politikus, antropolg, atau pun dengan konsep kearifan lokal.  Produk itu adalah  ruang kota dan wilayah yang didalamnya hadir berbagai ”ciri” dan ”bentuk arsitektur”. Kota itu akan berbicara dan berdiri sebagai identitas suatu bangsa untuk membedakan "kami" dari "kamu".
Siapapun pemimpin bangsa Papua (Gubernur, DPR, Bupati, Camat)  semua itu adalah penggagas, penyalur, dan pewujud atas terjadinya politik arstektur dan ruang kota. Baik putra daerah walau sering mengatakan  “tuan diatas tanah sendiri” maupun pendatang akan terbentuk “karaternya penguasa” karena semua itu telah memiliki landasan hukum yang harus dipatahui oleh semua warga negara. Beberapa darinya adalah undang-undang Republik Indonesia No. 18/1999 tentang jasa konstruksi, undang-undang Republik Indonesia No. 28/2002  tentang bangunan gedung, dan Peraturan pemerintah No. 15 / 2004 tentang perusahan Umum (perum) pembangunan nasional (perumnas). Dalam kehidupan (kenyataan bahwa) undang-undang ini tanpa perduli dengan keragaman bangsa (kesukuan), letak geografis, karakter dan perilaku manusia dengan lingkungan sekitar.  Kehidupan manusia (Papua) yang ruang geraknya yang telah dibingkai oleh negara (penguasa). Dengan demikian, slogan "demi bangsa" adalah gabungan politis, yang mendorong sejenis pembayangan yang mudah diperdaya oleh penyusun strategis untuk mencapai tujuannya (tinggalkan pesan politik arsitektur dan ruang kota). Namun, yang menjadi pertanyaan adalah apakah tanpa gagasan bangsa, arsitektur dan ruang kota di Papua tidak akan bermakna?  Mengapa arsitektur dan ruang kota sebagai gagasan bangsa dalam politik penguasa? Apakah manusia Papua tidak memiliki konsep penataan kota dan kampung? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan penting yang perlu kita jawab bersama.  
Apa itu arsitektur?
Kebanyakan orang, terutama mahasiswa arsitektur bila ditanya, barangkali akan berkata bahwa arsitektur itu  ilmu seni, arsitektur itu ilmu bangunan, arsitektur itu ilmu merancang, arsitektur itu ilmu yang belajar tentang kota, jalan, jembatan dan rumah, bahkan sampai ada yang berpendapat arsitektur itu gabungan dari semua ilmu yang ada. Dan masih banyak pendapat lain tentang definisi arsitektur. Arsitektur adalah “indeks budaya” yang mempunyai “wujud berbeda” pada “masyarakat” yang “berbeda” (A.C. Antoniades),. Sementara itu, J.C. Snyder. Berpendapat arsitektur merupakan tempat  “bernaung” dari yang paling “sederhana” hingga yang paling “rumit”. Pernyataaan Snyder secara jelas memberi gambaran dimana arsitektur sebagai bagian dari rumah (sederhana) sampai melihat dan memecahkan persoalan-persoalan di kota (rumit). Arsitektur adalah lingkungan binaan (built environment) yang berfungsi untuk perlindungan dari bahaya dan untuk menampung kegiatan manusia serta sebagai “identitas status sosial”. Arsitektur berkaitan dengan perancangan, yakni suatu konstruksi yang dibuat dengan “sengaja” untuk menggubah lingkungan fisik melalui suatu cara/ sistem penataan tertentu. Arsitektur berkaitan dengan “budaya”, memiliki sistem “lambang”, makna serta skema kognitif. Sedangkan, Edward T White, berpendapat arsitektur merupakan kegiatan merancang, yakni kegiatan mengenali dan merakit unsur bangunan dengan cara-cara tertentu. F.D.K. ChingI menyatakan, arsitektur pada umumnya “dipikirkan” (dirancang) dan “diwujudkan” (dibangun) sebagai tanggapan terhadap sekumpulan kondisi yang kadang-kadang hanya bersifat fungsional semata atau merupakan refleksi sosial, ekonomi, politik, perilaku atau tujuan-tujuan simbolis.
Pendapat F.D.K. Ching, sangat relevan dengan kenyataan yang terjadi di Papua. Dimana arsitektur itu ”dipikirkan” (dirancang) seperti “karakter” penguasa/ perancang. Dirancang dan diwujudkan, dengan pertimbangan tujuan-tujuan tertentu (simbolis). Pendapat Ching bukan merupakan sebuah teori semata. Melainkan telah nyata, dengan dibangunnya,  Momumen Pembesan Irian Barat di Makasar. Deretan rumah Honai di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), selain itu, hampir 90% nama-nama jalan kota-kota dan kampung kota di Papua adalah sebutan (nama) pahlawan NKRI (Yos sudarso, Budi Utomo, Kusbini, dan seterusnya dan sebagainya). Pertanyaan penting untuk orang Papua (khususnya mahasiswa arsitektur, planologi dan teknik sipil) adalah apakah orang atau tanah Papua tidak memiliki catatan sejarah penting, atau nama yang unik, yang dapat dijadikan sebagai nama jalan atau gedung?. Tetapi semua itu bukan salah kita (manusia Papua) Mengapa? Karena arsitektur itu dirancang oleh manusia (penguasa), lalu dibangun dengan segala sumber daya (arsitek, uang dan tenaga kerja) dengan satu paket peraturan dan undang-undang.  Identitas suatu suku atau bangsa bukan terlihat dari pakaian adat atau lagu daerah. Tetapi arsitektur sangat berperan dalam proses perubahan sosial dan jaman yang pada akhirnya melahirkan anak yang namanya ”krisis identitas” suatu suku bangsa. Arsitektur adalah simbol batas teritori (wilayah) pada daerah kekuasaan oleh suatu suku bangsa/ negara. Arsitektur akan tumbuh dan berkembag, seiring perkembangan jaman. Dan akan berdiri kokoh sepanjang kemampuan dan ketahanan struktur itu masih kuat (dijamin). Dengan demikian jelaslah bahwa arsitektur menggambarkan status sosial dan psikologi orang dalam permukiman atau kampung kota atau bahkan kota sekalipun.  Dengan demikian  kita dapat mengatakan bahwa arsitektur itu sebagai “sebuah lanan politik yang subur dan permanen”.  Karena, orang tidak pernah membangun rumah untuk sementara waktu. Sekalipun itu bangunan darurat, misalnya, pada saat gempa, longsor, sunami. Namun, yang terjadi di Papua adalah “semau gue” tanpa mengadopsi unsur budaya atau bahan lokal yang bisa dimanfaatkan untuk dibangun sebagai identitas budaya bangsa Papua.

Apa itu ruang kota?
            Apa arti istilah “kota”? Kapan sebuah pemukiman boleh dikatakan kota? Apa kriterianya? Darimana dapat diterima standar-standar dasar yang memungkinkan suatu pendekatan terhadap kota, baik pada saat lampau sampai saat ini?  Jawaban atas deretan pertanyaan diatas akan tergantung pada sudut pandang seseorang dan bidang ilmunya. Misalnya, seseorang yang berprofesi geografi akan menekankan pada permukaan kota dan lingkungannya. Seorang geolog, akan menekankan pada kota dan tanah dibawah dan bagaimana hubungannya dengan pembangunan. Adapun seorang antropolog, memangdang kota dari budaya dan sejarahnya. Lain halnya dengan seorang politikus yang menekankan pada cara mengurus kota dan bagaimana hubungan antara pihak pemerintah dan swasta. Sementara seorang sosiolog, berfokus pada klasifikasi permukiman kota dari semua aspek sosial. Sedangkan seorang kesehatan akan memperhatikan lingkungan kesehatan permukiman kota. Dan semua disiplin ilmu memiliki pandangan yang berbeda terhadap definisi kota. Dan pada akhirnya seorang arsitek memiliki beberapa sudut pandang dengan memertimbangkan berbagai persoalan yang terkait didalamnya. Dengan memperhatikan hubungan antara ruang dan massa perkotaan serta bentuk dan polanya dan bagaimanakah semua hal itu dapat tercapai. Kemudian muncul pertanyaan; apakah mungkin merumuskan kompleksitas kota dengan memasukkan semua aspek yang terlibat di dalam kota itu? (Markus P Bawole)
Urutan pertanyaan seperti di atas tidak mudah untuk dijawab (mendapat definisi kota yang jelas). Mengapa? Karena istilah “kota” secara arsitektural masih banyak aspek yang perlu diperhatikan  dan masing-masing aspek berbeda dari satu daerah dengan daerah lain.  Namun, kita mencoba menjawab dari beberapa pendekatan pendapat, mengenai definisi kota itu? Definisi klasik mengatakan bahwa kota adalah suatu permukiman yang relatif besar, padat, dan permanen, terdiri dari kelompok individu-individu yang heterogen dari segi sosial (Amos Rapoport).  Kemudian, seiring perkembangan jaman yang disebut moderen (pascamoderen), Amos mengemukakan definisi kota dengan istilah moderen. Ia merumuskan suatu definisi baru yang dapat diterapkan pada daerah permukiman kota dimana saja. “sebuah permukiman dapat dirumuskan sebuah kota bukan dari segi ciri-ciri morfologis tertentu, atau bahkan kumpulan ciri-cirinya, melainkan, dari segi suatu fungsi khusus – yaitu menyusun sebuah wilayah dan menciptakan ruang-ruang yang efektif melalui pengorganisasian sebuah daerah pedalaman yang lebih besar bedasarkan hirarki-hirarki tertentu”.
Kemudian Amos Rapoport mengutip pendapat Joerge E. Hardoy, untuk memperjelas atas definisi kota yang ia kemukakan diatas. Hardoy, menggunakan 10 kriteria secara lebih spesifik untuk merumuskan kota kriteria kota sebagai berikut: 1). Ukuran dan jumlah penduduknya besar terhadap massa dan tempat, 2). Bersifat permanent, 3). Kepadatan minimum terhadap massa dan tempat, 4). Struktur dan tata ruang perkotaan seperti yang ditunjukan oleh jalur jalan dan ruang-ruang perkotaan yang nyata 5). Tempat dimana masyarakat tinggal dan bekerja, 6). Fungsi perkotaan minimum yang diperinci. Meliputi sebuah pasar, sebuah pusat administratif (pemerintahan), pusat militer, pusat keagamaan, pusat aktivitas intelektual, 7). Heterogenitas dan pembedaan yang berdifat hirarkis  pada masyarakat, 8). Pusat ekonomi perkotaan yang menghubungkan, sebuah daerah pertanian di tepi kota dan memproses bahan menta untuk pemasaran yang lebih luas, 9). Pusat pelayanan (service) bagi daerah-daearah lingkungan setempat, 10). Pusat penyebaran informasi, memiliki suatu falsafa hidup perkotaan pada massa dan tempat itu.  Sementara itu, Max Weber dalam (Pahl,1971:5). Mengemukakan ciri-ciri khas yang ada pada kota, adalah adanya “batas-batas” yang tegas. Mempunyai “pasar”.  Ada pengadilan dan mempunyai “peraturan” sendiri (PERDA) disamping undang-undang secara umum. Terdapat perkumpulan dalam masyarakat yang berkaitan dengan kegiatan kota itu sendiri.
Kenyataan bahwa, kota-kota di Papua hidup dan berkembang bagaikan sebuah peluru rudal “tanpa kendali”. Pejabat dan penguasa (pihak berwenang) hanya berpikir dan mengendalikan kunci rudal “dompet rakyat”, yang berisikan hasil jualan pasar tradisional (bukan pasar moderen yang dimaksudkan dalam teori kota diatas). Tanpa memperduli rudal itu akan meledak entah kapan dan dimana. Penataan dan perencanaan kota dan kampung kota ini tidak pernah mendapat perhatian serius. Apa lagi proyek itu dilaksanakan oleh pemimpin (gubernur-bupati-camat) yang sebelumnya  berbeda orang (pemimpin). Sehingga diperlukan suatu acuan pembangunan perencanaan kota (master plann city). Konsep yang dipakai dalam menangani kota di Papua saat ini adalah penataan dan perencanaan “bukan perancangan” sehingga banyak kota di Papua arah pengembangan kotanya ”tidak jelas”, ”keliru”, ”mengandung unsur politis”. Mengapa dikatakan harus menggunakan “peracangan” (bukan perencanaan) karena perancangan melibatkan semua pihak dalam proses perencanaan kota sebelum hasil akhir menjadi rencana umum kota (master plan city). Master plan city adalah perencanan dan perancangan kota dengan jangka waktu yang panjang (akan datang). Dampak  yang dirakasan akibat perencanaan kota tanpa master pelnn city, seperti sebagian besar masyarakat pigir kota Jakarta terjadi “penggusuran”. Salah siapa?  Apakah pemerintah, sebagai pengambil kebijakan “penguasa”? Para perancang seperti arsitek, perencana kota dan wilayah, sebagai pewujud ide dan gagasan penguasa? Ataukah masyarakat itu sendiri? Jawaban kembali pada diri kita masing-masing. Tetapi semua itu berawal dari penguasa. Karena yang meletakan “batu pertama” sebagai tanda untuk membangun atau memulai suatu proyek (pembangunan kota, jalan, jembatan, dan gedung) adalah pemerintah (penguasa).
Salah satu budaya pejabat (penguasa/ pemimpin) Papua, siapapun dia (putra daerah/ pendatang) yang menurut hemat saya perlu ditinggalkan adalah memiliki visi dan misi yang berbeda (pada setiap periode kepemimpinan). Tetapi tujuan semua itu adalah hanya satu masyarakat dan satu tanah air (Papua). Mulai dari tingkat provinsi sampai dengan Desa. Dan leibh jauh dari itu, adalah pada saat pemelihan kepala daerah (PILKADA) itu dilaksanakan. Semua partai politik memiliki paradikma (strategi) yang berbeda. Untuk memenangkan suara pada akar rumput (yang tidak tahu dengan yang namanya pembangunan) dalam PILKADA itu dilaksanakan. Hal itu diperparah dengan, pertarungan elit politik lokal. Yang memiliki beda visi tapi satu tujuan. Hal yang menyangkan adalah jika seseorang kandidat tidak terpilih sebagai Gubernur atau Bupati, maka terjadi konflik horisontal (tidak berjiwa besar) atas proses demokrasi itu. Semua itu boleh terjadi, dan siapa pun boleh memimpin Papua. Tetapi yang terpenting adalah semua unsur (pemerintah, masyarakat adat, akademisi, gereja) yang ada di Papua duduk bersama dan merancang sebuah konsep pembangunan yang berkelanjutan (pada waktu yang akan dantang). Dengan moto, ”Jaman dan pemimpin boleh berganti dan berubah tetapi tujuan pembangunan tetap satu (jelas, terarah, transparan, mempunyai jati diri, berlandaskan pada hukum adat dan agama).      

Arsitektur sebagai pesan politik yang permanen
Arsitektur tidak hanya mampu memenuhi hasrat dasar berkegiatan manusia dalam batas ruang yang dihasilkannya, tetapi juga mampu menyampaikan makna apabila para pemakai mampu menafsirkannya. Karya arsitektur dan ruang perkotaan mudah menjadi media penyampaian pesan politis seorang penguasa (penjajah). Sejarah mencatat bahwa kaisar, diktator, dan penguasa mendirikan bangunan dan ruang kota monumental untuk membangkitkan suasana khusus dalam menjaga wibawa, membina semangat, atau bahkan mengancam rakyatnya. Kebiasaan ingin meninggalkan suatu proyek sebagai prestasi selama menjabat hingga kini masih menghantui para penguasa di Indonesia. Arsitektur dan ruang perkotaan itu hasil tata olah sosial budaya suatu masyarakat dengan arsitek berada di dalamnya. Arsitek, pada gilirannya “terbingkai” di dalam keadaan politik masyarakat saat dia berkarya. Arsitek Indonesia boleh saja menempatkan diri sebagai profesional yang tak berpolitik, namun mereka tak ”berdaya” melepaskan diri dari iklim politik penguasa meski berupaya kuat untuk menghindar dari pengaruh kepentingan pemerintah.
Melalui karya arsitektur, gagasan kebangsaan dan kenegaraan menjelma mendekati kenyataan sehingga mudah dirasakan oleh masyarakat Papua dalam kehidupan sehari-hari. Dalam mengangkat gagasan kebangsaan, Ben Anderson menganggap bangsa merupakan suatu pembayangan tentang sebentuk masyarakat yang wujudnya tak pernah nyata. Melalui kacamata khusus, Abidin Kusno meneropong gagasan yang terkandung dalam diri para penguasa melalui proyek-proyek khusus selama menjabat. Dengan jeli dia membedah budaya berarsitektur para arsitek sebagai penyalur gagasan politik yang dihadirkan oleh penguasa. Pemerintah sebagai pihak penjajah yang merasa berkewajiban mengangkat harkat hidup obyek jajahan, sambil tetap memegang teguh statusnya sebagai pihak pemberi  dana, dan gagasan pembangunan.
Perubahan sosial dapat berlangsung melalui tata ruang kota dan dan bangunan. Perubahan pemerintahan dari yang berdasarkan kelompok ras dan suku bangsa ke pengelompokan berdasarkan status sosial. Orientasi baru ini memberi kesempatan kepada arsitek Indonesia yang lebih berorientasi sosial berpaling ke sumber-sumber lokal. Dengan meneliti segi teknis yang terukur dan lebih ilmiah, arsitek kelompok ini menghasilkan wujud bangunan tertentu yang mengacu pada sumber kebudayaan lokal tanpa menghadirkan sisi spiritual tak terukur. Wujud bangunan tersebut merupakan suatu hasil campuran (joglonisasi) yang menunjukkan perhatian dan pengakuan terhadap keberadaan perbedaan, namun sekaligus mengabaikannya (yang ada disana). Dalam membangun bumi jajahan, kelompok yang peduli unsur lokal adalah putra-putra daerah yang memiliki pengetahuan sebagai penanding, bagi penguasa dengan menghadirkan arsitektur berwawasan lokalitas Papua.  Mereka (mahasiswa jurusan arsitektur sebagai calon arsitek masa depan asal Papua) perlu menganut  paham modern yang menghargai identitas lokal. Pengutamaan ke"modern"an sebagai ukuran keilmiahan cenderung merendahkan mereka yang "tertinggal" atau dianggap berada di masa lalu (kuno, kampungan, tradisional dan primitif). Sementara itu, penghargaan atas warna lokal belum tentu mengangkat harga diri terjajah karena yang merintis juga dari luar, bukan dari dalam.
Gedung Bandar Udara Enarotali, ibu kota Kabupaten Paniai, Kantor PDAM Kabupaten Nabire, Mesdjid Agung Timika, Gedung DPRD Papua di Jayapura adalah contoh-contoh pesan politik bangsa dalam arsitektur  di Papua. Dengan jelas bahwa pada beberapa bangunan ini memperlihatkan bangunan dengan bentuk rumah adat Jawa (Joglo). Dalam UUD 1945 mengatakan “yang menjadi presiden adalah orang Indonesia asli”. ”Indosesia asli” adalah orang Jawa, karena sejak Indonesia merdeka sampai saat ini yang menjadi presiden adalah orang Jawa (bukan; Sumatra, Sulawaesi, Kalimantan, Papua). Ini berarti bahwa pejajahan  atas rakyat telah terjadi di Indonesia. Lebih jauh dari itu, daerah yang ingin memisahkan diri (Aceh, Poso, Maluku, dan Papua) dari NKRI penguasa betul-betul akan pembangunan dengan maksud meninggalkan pesan politik dalam arsitektur dan ruang kota. Sehingga semua bangunan ataupun perencanaan ruang perkotaan tidak memperdulikan kondisi dan lingkungan setempat. Satu program, satu konsep, satu arsitek  untuk semua daerah di Indonesia adalah moto pembanguan dalam pesan politik arsitektur dan ruang kota.    
Sejarah mencatat bahwa arsitektur dan ruang kota menjadi icon dan pesan politk bagi penjajah (penguasa) yang permanen dan monumental. Siapapun pemimpin (penguasa) (Presiden, Gubernur dan Bupati) ketika menjadi pemimpin adalah merupakan penyumbang atau penyalur gagasan bangsa yang amat berperan dalam perkembangan arsitektur  di kota dan daerah. Politk dalam arsitektur dan ruang kota berjalan secara dinamis dan transparan, tetapi sulit untuk mengetahui maksud dibalik semua itu. Penjajah (penguasa) selalu mementingkan kepentingan jati diri bangsanya dari pada mengangkat identitas bagi yang dijajah. Mereka menggangap apa yang ada di daerah jajahan (kekuasaan) adalah tidak berharga, tidak bernilai, kuno, tradisional, dan ketinggalan. Sehingga, dengan muda membuat Undang-undang dan peraturan, agar semua daerah kekuasaan dapat mematuhui aturan dan undang-undang itu. Karena gagasan politik arsitektur merupakan  suatu proyeksi yang perlu bagi penguasa untuk mencapai suatu cita-cita untuk menghilankan identitas lokal (arsitektur Papua). 
            Papua dengan heterogenitas arsitektur kesukuan (arsitektur tradisional), tidak lagi mengindahkan sejalan perkembangan jaman. Karena setiap manusia Papua di jaman digital ini, telah mengidap virus ”ikut-ikutan”  ”yang baru itu yang terbaik”. Dan sebaliknya, sudah mengidap virus dengan anggapan yang lama itu ”kuno, tradisional, ketinggalan, kampungan, dan lain-lain. Tetapi perlu ketahui bahwa yang baru itu belum tentu baik dan bermakana filosofis. Dou-Gaii-Ekowai (melihat-berpikir dan melakukan).    


Asrama Mahasiswa Papua “Kamasan I” Yogyakarta, 12  Maret  2008, pukul 00:00 WIB

Tidak ada komentar: