Minggu, 08 September 2013

MAKNA PENGAMBILAN MAS KAWIN SUKU MEE DI PAPUA

Foto: Ilustasi

Ruang Amopiya Pustaka - Sistem pengambilan Mas Kawin bagi perempuan suku Mee pada khususnya dan perempuan Papua pada umumnya,  pada zaman dahulu tentu berbeda jauh dengan zaman sekarang, lagi pula beda maknanya. Dulu diambil berdasarkan aturan dan fungsinya demi menjaga martabat perempuan sebagai manusia.
Menurut Petrus Tekege dalam Buku Perempuan Papua, Dulu Kini dan Masa Depan Dalam Fenomena Pembangunan, ada lima makna pengambilan mas kawin berdasarkan norma, dan aturan yang berlaku dalam masyarakatPapua [lihat, Petrus Tekege, Hal. 164-166]
            Pertama, Membayar harga susu ibu. Yang dimaksud membayar harga susu ibu adalah untuk membayar atau memberikan penghargaan kepada ibu atau mama yang telah dengan susah paya menjaga bayinya di dalam kandungan secara baik [penyelamatan nyawa], melahirkan dengan penuh penderitaan, menyusui, memelihara dan merawat hingga besar dan akhirnya pergi meninggalkan seluruh anggota keluarganya dan mengikuti laki-laki sebagai suami, untuk membentuk keluarga baru.
            Kedua, Sebagai alat kontrol sosial. Artinya maskawin diambil agar tidak terjadi persetubuhan [hubungan seks] diluar perkawinan yang sah. Jika sebelum berrumah tangga si gadis ini sudah melakukan hubungan seks maka terhadapnya akan dikucilkan di dalam pergaulan.
            Ketiga, Untuk membayar kesucian [keperawanan]. Setiap penggantin suami mengharapkan agar calon istrinya harus masih perawan. Perempuan yang dicurigai atau ketahuan sudah melakukan persetubuhan dengan laki-laki lain sebelum pernikahan yang sah maka dengan sendirinya akan dikucilkan di lingkungan tempat dimana ia tinggal. Walaupun ia sudah menikah tetapi batinnya tidak akan tenang [kacau] dalam kehidupan karena dihantui perasaan bersalah, dan sering dipukul suami, bahkan menurut adat harus diceraikan oleh suaminya manakala tidak perawan.
            Keempat, Untuk mengadakan garis keturunan suami. Membayar seorang perempuan dengan mas kawin bukan berarti memiliki tubuh dari perempuan itu. Kemudian diasumsikan telah membeli dan menguasai seluruh tubuh dari perempuan itu. Tetapi sebatas membayar atau menyewah rahimnya untuk meneruskan keturunan laki-laki. Karena secara kodrat laki-laki tidak memiliki fungsi reproduksi seperti kandungan. Sedangkan alat reproduksi termasuk anggota tubuh lainnya adalah menjadi otonom milik perempuan itu sendiri. Artinya tubuh selain kandungan [rahim] adalah hak pribadi perempuan, oleh karena itu tidak bisa melukai, memukul istrinya, juga pembayaran mas kawin pun dilakukan menurut aturan adat yang berlaku dalam masyarakat.
            Kelima, Sebagai alat perkawinan. Perkawinan akan dianggap sah bila ada harta mas kawin. Tanpa mas kawin, perkawinannya dianggap telah melanggar hukum adat yang berlaku dalam masyarakat. Sebagai alat perkawinan berupa mas kawin sudah diserahkan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan maka o rang di luar dari laki-laki yang adalah suami sah tidak dapat melakukan perkawinan.
            Jadi, mas kawin pada dasarnya digunakan sebagai alat pengesahan perkawinan. Mas kawin diberikan oleh pihak laki-laki. Harga mas kawin ditentukan oleh pihak gadis dengan batasan-batasan tertentu. Batasan-batasan yang ditentukan harus dihormati. Sebagai contoh, harga mas kawin ibunya tiga ratus rupiah [Rp. 300.000,-], maka harga anak perempuannya juga harus tiga ratus ribu upiah, dengan tidak melebihi harga maskawin ibunya.
            Kebiasaan ini merupakan hukum dan aturan adat yang berlaku dalam masyarakat. Berdasarkan keprcayaan masyarakat bahwa apa yang telah menjadi kebiasaan harus dipatuhi oleh seluruh anggota keluarga dan masyarakat, dengan alasan [1], mengabil mas kawin secara berlebihan tidak akan mendapat keturunan. [2], mendapatkan keturuanan, tetapi melahirkan anak yang cacat secara fisik atau non fisik dan samapi anak-anak mereka meninggal. [3], keluarga diantara salah satu pihak, pihak suami atau istri akan mengalami cacat secara jasmani dan atau meninggal. [4], mengambil maskawin berlebihan berarti tidak menghormati aturan-aturan adatnya dan melanggar martabat perempuan sebagai manusia.

Dimi-Mana Topiida, Meeuwo, 20 Juni  2012

Tidak ada komentar: