Jumat, 01 November 2013

Fenomena Wajah Kota Menjelang PEMILUKADA


KAWASAN PASAR KARANG NABIRE (Foto Yunus Yeimo)
Jaman berubah. Duniapun berubah. Wajah kota-kota yang menyelengarakan pemilihan kepala daerah [PEMILUKADA], pun ikut berubah. Namun, sanyangnya perubahan itu terjadi hanya diatas pohon dan tiang-tiang setinggi 1-3 meter lebih, di perempatan, sepangjang jalan dan disudut-sudut jalan di kota dan Kampung.
Namun, semua itu menjadi indah hanya sekedar atau sementara. Umur warna-warni kota ini, kini kita bisa
menghitung dengan jari. Disisi lain, warna-warni kota yang begitu indah itu akan menjadi sesuatu yang tidak enak dipandang, atau akan menjadi sampah perkotaan yang membutuhkan waktu, dan tenaga untuk membersihkannya.
Bila kita keliling kota, yang menyelenggarakan Pemilukada, disana-sini warna-warni kota yang begitu indah. Namun, sayangnya keindahan itu, bukan merupakan keindahan kota secara permanen. Tetapi, keindahan musiman. Sehingga, kita bisa menyebut musim aneh. Karena terjadi lima tahun sekali. Anehnya lagi, keindahan itu bukan sesuatu bunga yang menghasilakan bau yang harum.
Bau itu, bisa berubah menjadi aroba tidak sedap yang bisa mematikan, membuat stres dan depresi. Sedangkan, bau aroma yang sedap itu, menjadi aroma harum bagi pribadi atau kelompok tertentu. Lupa diri dan lupa kerluarga. Ya, wajar lupa semua karena tidak tumbuh dari akar. Maka, sumber terjadi wajah-wajah itu berarti perubahan itu belum dimuai dari akarnya.
            Wajah calon bupati dan wakil bupati atau calon legislatif (Cabub-Cawabub/ caleg) itu mulai bermunculan di berbagai sudut kota, dengan berbagai cara dan persepsi yang menurut mereka dapat mendapat suara yang sebanyak mungkin. Mengapa kota yang sebelumnya, belum begitu indah dan padat, tiba-tiba menjadi padat dan dihiasi oleh berbagai warna?
Selain itu, mengapa wajah para Cabub-Cawabub, itu lebih banyak di penuhi di sekitar pusat-pusat kota dari pada kampung/ perdesaan? Fenomena wajah para kandidat, ini lebih fokuskan pada sepanjang ruas jalan, dan lebih banyak di perempatan di sudut kota. Dengan harapan, orang akan melihat wajah dan membaca tulisan yang terdapat pada papan baleho, poster dan stiker.
Mengapa wajah-wajah ini lebih banyak ditonjolkan di area kota dari pada kampung? Untuk menjawab pertanyaan semacan ini kita mengutip pendapat para ahli yang pernah mendefinisikan tentang arti istilah kota. Misalnya Amos Rapoport berpendapat “kota adalah suatu permukiman yang relatif besar, padat, dan permanen, terdiri dari kelompok individu-individu yang heterogen dari segi sosial”. Untuk itu, jika kita melihat wajah kota saat ini tidaklah salah karena definisi klasik ini mendasari aktifitas manusia di perkotaan lebih padat dan lebih kompleks.
Munculnya, wajah-wajah baru dan warna-warni di perkotaan ini akan mempengaruhi aktivitas masyarakat kota. Para pengguna jalan, mau dan tidak mau memandang wajah-wajah itu, untuk sekedar melihat wajah orang, atau membaca pesan singkat, atau bahkan mencatatat nomor handphone yang terpampang.  
Fenomena wajah yang begitu cepat, dan  berubah ini, diakibatkan oleh beberapa hal seperti yang dikemukakan oleh Joerge E. Hardoy, yang dikutip oleh Amos Rapoport untuk memperjelas atas definisi kota yang ia kemukakan diatas. Hardoy, menggunakan 10 kriteria secara lebih spesifik untuk merumuskan kriteria sebuah kota sebagai berikut: 1). Ukuran dan jumlah penduduknya besar terhadap massa dan tempat, 2). Bersifat permanen, 3). Kepadatan minimum terhadap massa dan tempat, 4). Struktur dan tata ruang perkotaan seperti yang ditunjukan oleh jalur jalan dan ruang-ruang perkotaan yang nyata 5). Tempat dimana masyarakat tinggal dan bekerja.
6). Fungsi perkotaan minimum yang diperinci. Meliputi sebuah pasar, sebuah pusat administratif (pemerintahan), pusat militer, pusat keagamaan, pusat aktivitas intelektual/ pendidikan, 7). Heterogenitas dan pembedaan yang berdifat hirarkis pada masyarakat, 8). Pusat ekonomi perkotaan yang menghubungkan, sebuah daerah pertanian di tepi kota dan memproses bahan menta untuk pemasaran yang lebih luas, 9). Pusat pelayanan (service) bagi daerah-daerah lingkungan setempat, 10). Pusat penyebaran informasi, memiliki suatu falsafa hidup perkotaan pada massa dan tempat itu.
Bila kita melihat pendapat Hardoy, tidaklah salah bila para kandidat itu menampilkan wajah-wajah mereka lebih banyak di perkotaan dari pada di perdesaan atau kampung. Sosialisasi melalui poster, stiker dan baleho yang memuat wajah-wajah para kandidat, telah sedang dan akan terpasang di berbagai sudut kota dengan pesan-pesan singkat yang begitu menggoda para pemilih pada saat pemunggutan suara.
Sehingga, disini rakyat diminta untuk memahami, melihat dan menentukan, siapa yang benar-benar berbicara untuk membangun kota atau Kabupaten tersebut. Disisi lain, poster, stiker dan baleho ini menjadi malapetaka bagi pengguna jalan raya, dimana wajah kota menjadi berubah, misalnya tanda-tanda rambu lalulintas menjadi tidak terlihat, lampu traficlight tertutup, sehingga bisa menimbulkan korban jiwa. Untuk, itu panwas pemilu perlu memperhatikan hal-hal ini.
Cara-cara seperti ini memang merupakan trend baru didunia perpolitikan setelah diberlakukannya pemilihan langsung (pilkada) yang tidak kita jumpai dalam pemilu-pemilu yang lalu. Selain itu, para kandidat juga tidak lupa cantumkan nomor telepon seluler [nomor HP) di media publikasinya. Tetapi yang perlu diketahui oleh rakyat adalah pemilu bukanlah memilih wajah (ebe peka) yang telah terpampang di jalan-jalan.
Tetapi menurut hemat saya, nomor-nomor Handphone itu adalah nomor sementara, karena kenyataan bahwa jika mereka terpilih sebagai bupati atau anggota wakil rakyat di kursi empuk. Maka, nomor HP seperti ini kadang di luar jangkauan, padahal orangnya ada bersama masyarakat yang mendukung dia untuk naik mobil plat merah.

*) Penulis adalah Staf Pegawai Bina Marga dan Cipta Karya pada Dinas Pekerjaan Umum [DPU] Kabupaten Deiyai.

Tidak ada komentar: