Sabtu, 02 November 2013

PERLUKAH AGAMA MEMISAHKAN CINTA?


Foto Ilustrasi (Sumber. www.google.com)
Tulisan ini saya menulis bukan untuk mengakimi Agama [gereja], namun lebih kepada orang yang selalu mengatasnamakan agama sebagai alat untuk menolak atau menerima cinta. Selain itu, tulisan ini hanya sekedar sebagai cerita pengalaman pribadi [curhat], dengan maksud agar jangan ada orang lain yang mengalami apa yang pernah saya alami.
Berikut ini adalah kisah singkat, yang saya alami. Saat itu, tanggal 30 Juni 2008, pukul 06:00  pagi, saya ditelepon oleh pacar saya, dan mengatakan bahwa “amo, bapa bilang nanti sore datang ke rumah. Lalu, saya tanya, untuk apa? Tidak tahu pokoknya bapak bilang bawah dengan orangtua.

Sekitar jam tiga sore saya datang ke rumah pacar saya, dan disana banyak orang menunggu kedatangan saya. Walau, saya diundang dan diminta membawa orangtua atau keluarga, tetapi saya datang seorang diri. Karena yang berbuat saya, bukan orangtua atau keluarga saya. Singkatnya, berani berbuat, berani bertanggungjawab.
Setibanya disana, saya ditanya oleh ayahnya, “anak agama apa”? lalu saya menjawab, saya agama Kristen Protestan. Lalu, bapak dan mamanya, mulai mencari akal untuk menolak saya. Alasannya, saya agama lain [beda agama].
Sementara, bapak adiknya, membelah saya karena dia juga kebetulan sama agama dengan saya. Namun, bapak dan mama tetap mempertahankan, argument mereka bahwa, siapapun dia, anak kami tidak boleh ada yang kawin [nikah] dengan orang yang beda agama.
Jika, kembali melihat kehidupan masa lalu, orang Mee tahu adanya Tuhan. Dalam hal kawin-mawin, orang Mee tidak pernah memandang siapa dan darimana seorang itu datang. Tetapi, pertimbangan utamanya, adalah siapa dia dan apa yang dia lakukan.
Kehidupan manusia Mee sudah berubah, berubah karena perubahan jaman dan pengaruh luar dan dalam. Judul tulisan ini sengajah penulis tulis dengan sebuah pertanyaan. Karena, bagi saya sebagai manusia Mee yang baru mengenal kehidupan agama, social dan budaya. Agak, bingun ketika melihat dan merasakan, tidak sedikit orangtua, yang menolak untuk menjadi mertua, baginya, alasannya adalah beda agama.
Untuk itu, menjawab sebuah pertanyaan yang menjadi judul diatas ini adalah berpulang pada diri pribadi pembaca. Penulis sengaja menulis tulisan ini dengan bentuk pertanyaan, karena disisi lain penulis sebagai manusia pernah mengalami hal ini, sementara sebagian orang di Mee juga mungkin bukan karena pengalaman pribadi saja, tetapi telah banyak orang Mee di Papua atau bahkan mungkin pernah di alami oleh bukan orang Mee di Papua. Mengapa? Karena mencari jodoh tidak selalu di gereja, tetapi banyak tempat untuk orang mendapatkan cinta.
Bila semua orang muda mendapat calon suami atau istri di gereja [tempat ibadah] boleh saja “agama” atau orang “KTP” agama melarang anak atau keluarganya menikah dengan orang beda agama. Misalnya agama Kristen Katholik dan Agama Kristen Prostestan.
Tugas agama “gereja” adalah menyelamatkan umatnya yang telah dan sedang keluar ke ajaran sesak. Namun, kenyataan bahwa banyak orang Mee di Papua yang justru tidak mau mengikuti ibadah-ibadah yang ditentukan oleh gereja, karena di anggap gereja tidak lagi tempat untuk menyelamatkan umatnya didunia perkawinan.
 Sejumlah orang yang penulis mewawancarai, mengatakan bahwa kekuatan agama masih kurang dan bisa mengalahkan. Alasannya, bila cinta yang dibangun itu benar-benar jodoh, apapun alasan, tinggal alasan. Pasti, mereka akan menikah walau beda agama.
Menurut pantauan pribadi penulis, di Meeuwo banyak orang Mee yang tidak menikah karena orangtuanya melarang menikah dengan pacar sebelumnya. Selain itu, masih banyak orang Mee yang mungkin karena kurang iman, kepada Tuhan.
Namun, dipihak lain agama adalah mulia. Menyampaikan firman Tuhan, tetapi kadang, lidah bisa membelokkan berita yang mulia itu. Semoga anda tidak mengalami.

Tidak ada komentar: