Sabtu, 09 November 2013

MEMBANGUN “BANGUNAN” DI PAPUA; BERSAMA ”KULI BANGUNAN LOKAL”....Mungkinkah?


Karyawan PT. PUTRA DEWA PANIAI (Foto. Yunus A. Yeimo)
Sejak jaman dulu orang Papua, tahu membangun rumah (arsitektur tradisional). Hasil karya itu adalah setiap suku di Papua telah memiliki rumah adat masing-masing. Yang membedakan itu, bukan karena beda suku, tetapi beda bentuk “arsitekturnya”. Mengapa keterampilan ini kita (generasi muda Papua) tidak dikembangkan? Mengapa hampir semua proyek fisik di Papua, “harus” (selalu) di tangani oleh orang luar Papua? Sebenarnya kita (orang Papua) “bangga” punya heterogenitas “arsitektur tradisional” dengan bentuk dan ciri khas yang berbeda. Lebih jauh dari itu, arsitektur tradisional adalah hasil pengujian (penelitian) alamiah yang dilakukan oleh nenek moyang, (leluhur orang Papua).

Pembangunan model apapun yang direncanakan (programkan) oleh pemerintah, pada setiap tahun terutama pembangunan fisik ada ditangan “kuli bangunan”. Tanpa kuli bangunan, semua program pemerintah tidak akan terwujud. Untuk itu, pada saat ini kuli bangunan sebenarnya “bangga” karena sebuah kota atau pun bangunan bertingkat rendah sampai bertingkat tinggi merupakan buah karya (tangan) mereka. Walaupun dibalik itu ada pihak lain, seperti pemerintah, arsitek, kontraktor, perencana kota dan wilayah. Lebih jauh lagi bahwa, untuk  membangun sumber daya manusia orang Papua di bidang pendidikan non formal terutama tenaga profesional di bidang pembangunan fisik, perlu bermula dari “kuli banguanan”.  Pekerjaan (sebagai pekerja-kuli bangunan) membutuhkan keterampilan dasar (basic skill). Sehingga perlu ada lembaga pelatihan keterampilan (LPK), yang  membidangi pertukangan (kayu, batu, besi, dan lain-lain).
Bentuk dan bahan bangunan baru belum tentu menjawab kebutuhan masyarakat (kenyaman, keamanan) dalam rumah atau kota sekali pun. Mengapa? Karena pengujian alamiah yang dilakukan oleh leluhur kita memakan waktu yang sangat panjang. Mulai dari pengujian bahan bangunan, pola kampung, iklim di sekitar rumah, panas atau dingin. Rumah yang kita lihat saat ini kesimpulan daripada riset yang mereka (leluhur orang Papua) lakukan itu. Menurut hemat saya, tidak salah bila kita (pemerintah daerah), memberikan penghargaan kepada  “orangtua” yang umurnya mencapai stengah abad (50 tahun) “jika ada saat ini”. Karena, merekalah pelestari (sumber informan) budaya dan keterampilan membangun rumah. Tetapi, sebaiknya bukan hanya rumah, tetapi dari semua unsur budaya yang ada di Papua.

Mengapa harus “kuli bangunan” lokal?
Membangun Papua, terutama pembangunan fisik, harus bermula dari “kuli bangunan lokal”. Mengapa? Karena berdayakan kuli bangunan lokal, berarti mensejahterakan rakyat Papua. Dengan demikian, kita (pemeritnah) untung, masyarakat (kuli bangunan lokal) untung. Sehingga uang (APBD) yang dikeluarkan itu tidak “lari” ke kantong-kantong pendatang.  Kuli bangunan lokal, tidak pernah membutuhkan alat-alat (pertukangan) yang modern. layaknya kuli bangunan pendatang.
Orang Papua, mengapa tidak ingin “jadi” kuli bangunan? Mengapa pemerintah daerah tidak “buka mata” untuk melihat mereka (kuli bangunan lokal). Sebenarnya, pemerintah “bangga” memiliki “kuli bangunan. Mengapa? Karena pembangunan akan nampak (terwujud) atas kerja keras mereka. Begitu juga sebaliknya (kuli bangunan) harus “bangga” karena maju dan tidaknya sebuah kota ada di tangan anda (kuli bangunan). Tetapi, sebuah pertanyaan penting yang layak kita ajukan bersama adalah mengapa kuli bangunan lokal (orang Papua) tidak pernah nampak? Ataukah kurang fasilitas (peralatan pertukangan) untuk jadi kuli bangunan? Menurut hemat  saya, kuli bangunan lokal jauh lebih memahami (pintar) dari pada kuli bangunan pendatang. Karena, mereka (kuli bangunan lokal), sejak nenek moyang mereka menetap mereka mengerti tentang iklim setempat, teknologi tradisional, bahan bangunan dan bentuk yang cocok dengan perilku kehidupan manusia Papua dan lingkungan setempat.
Untuk itu, membangun ‘bangunan” di Papua, bersama “kuli bangunan lokal” adalah salah satu pekerjaan rumah (PR) bagi kita semua. Yang mungkin sampai saai ini masih belum di jawab. Karena orang Papua, saat ini tidak tahu, atau malas tahu untuk mendengar kata “kuli bangunan” karena menggangap perkerjaan yang menjihjihkan. Memang benar, jadi kuli bangunan berarti  menjemur badan di panas terik matahari, taruhan nyawa, dan masih banyak resiko yang lain. Apalagi orang Papua, jika telah menyandang gelar sarjana, (entah sarjana benar/ bayaran) tidak mau ketinggalan dengan mengejar gelar yang lebih tinggi yaitu  “gengsi”. Sementara, kalau kita belajar dari orang lain (orang Jawa), sarjana D3, S1 lulusan perguruan tinggi terkenal bekerja sebagai penjaga toko (mall), penjahit sepatu, penarik becak, dan lain-lain.
Keuntungan sebagai pekerja “kuli bangunan” adalah anda bisa memborong (mencari pekerjaan) sendiri, atau melamar di sebuah perusahan “jasa konstruksi”. Mengapa, karena pekerjaan kuli bangunan, adalah pekerjaan sepanjang tahun. Dan tidak akan habis lahan pekerjaannya. Setiap tahun kira-kira dana APBD  30% adalah untuk pembangunan fisik. Itu berarti anda (kuli bangunan) tidak akan kehilangan pekerjaan. Belum lagi pekerjaan membangun (mendirikan) rumah tinggal. Yang dibangun dengan cara tradisional (mencari tukang/ pemborong sendiri oleh pemilki proyek) yang dianggap berpengalaman dalam mengerjakan pekerjaan membangun rumah.   
Masyarakat Papua yang dulunya, telah ada sistim pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Saat ini,  laki-laki orang Papua berada di persimpangan jalan “kebingungan” (baca: Widarmi 2007). Karena, banyak laki-laki perkotaan (pemuda-kota) menghabiskan waktu mereka dilorong-lorong kios, terminal dan toko milik pendatang, sebagi penontong. Selain itu, banyak bapak-bapak (dipegunungan-pedalaman) menghabiskan waktu mereka di balai desa. Lebih jauh dari itu, laki-laki (orang Papua) telah kehilangan identitas diri sebagai seorang laki-laki untuk menghidupi keluarganya. Karena, semua kebutuhan keluarga dipenuhi oleh ibu (mama). Mengapa laki-laki Papua bisa berubah (akulturasi) semacam ini? Untuk mengatasi hal ini, tugas siapa? Menurut hemat saya, berdayakan, laki-laki (orang Papua) dari persimpangan “kebingungan” melaui “membangun kuli bangunan” adalah salah satu solusi yang tepat. Karena orang Papua tahu membangunan bangunan rumah tinggal, tetapi kurang pemberdayakan mereka sebagai (kuli bangunan lokal).            
           
Menghargai otak (dimi) dan tangan (gane) leluhur
Membangun “bangunan” di Papua bersama  “kuli bangunan lokal” berarti menghargai otak (Dimi:Mee) dan tangan (Gane:Mee) leluhur. Dalam kehidupan masyarakat Mee menyebut “utoma agiyo kouko Mee ka gane duba keiya topai” (artinya; segala sesuatu “kekeyaan” yang diperoleh manusia bersumber dari tangan). Itu berarti  bahwa jika tangan manusia bergerak dan untuk melakukan suatu perbuatan (pekerjaan) pasti ada hasil. Gane ka gota, (atas perbuatan tangan). Semua pekerjaan yang dilakukan oleh manusia, entah perbutan yang baik atau perbuatan yang buruk, semua itu merupakan atas perbuatan tangan. Sebelum tangan melakukan (ekowai:Mee), jangan lupa proses pertama yang harus kita lalui yaitu “dimi gai” (berpikir) dengan otak.
            Makna-makna filosofis telah terkandung dalam setiap suku di Papua. Makna filosofis Suku Mee yang telah disebutkan diatas adalah hanya salah satu contoh. Orang Mee melihat bahwa segala sesuatu itu ada didalam tangan manusia. Sehingga tangan manusai harus bekerja (melakukan) sesuai tugas dan tanggungjawab masing-masing. Bukan hanya suku Mee, setiap suku yang ada di Papua mempunyai makna filosofis yang berbeda. Dalam menata lingkungan dan menatap masa depan. Rumah adat (arsitektur tradisional) dibangun atas kesepakatan semua pihak (lingkungan alam, manusia, alam mistic dan ugatame; pencipta). Mengapa? Karena, keempat unsur ini adalah dasar dan pedoman hidup manusia yang tidak dapat dipisahkan. Walaupun manusia mengelola, alam tetapi ia harus meminta kesepakatan dengan unsur yang lain. Tidak boleh salah satu unsur dirugikan atau diuntungkan.
            Semua otak (dimi) dan tangan (gane) dari unsur yang terkait harus membuat kesepakatan kemudian  mendirikan rumah. Mulai dari pemilihan lokasi untuk mendirikan bangnunan sampai pada tahap menghuni dalam rumah itu. Jangan salah berpikir bahwa alam itu, tidak punya dimi (otak) dan gane (tangan). Buktinya, banyak terjadi gempa bumi dimana-mana. Tanah lonsor sampai memakan korban jiwa. Ombak dan angin mengungcang rumah-rumah di sekitar pantai dan pohon-pohon tumbang, memakan korban jiwa. Ini adalah akibat (ulah) manusia. Karena menganggap memiliki “akal budi”. Sementara, alam dan alam yang lain merasa tidak punya kekuatan apa-apa. Untuk itulah, diperlukan pelestarian alam dan lingkungan secara kearifan lokal. Serta, menghargai dimi dan gane dari alam yang terkait.
            Otak (dimi) leluhur orang Papua benar-benar telah memahami “otak yang lain” (lingkungan alam, iklim, panas sinar matahari, angin, hujan, dan lain-lain). Selain itu, leluhur kita (orang Papua), tahu benar tentang kapan, dimana, dengan siapa, bagaimana “otak” dan “tangan” alam yang lain itu bertindak. Entah bertindak (perbuatan) baik atau jahat. Untuk memahami semua itu, leluhur kita (orang Papua), membutuhkan waktu yang sangat panjang (ratusan bahkan jutaan tahun). Bukan hanya di Papua. Manusia di dunia ini, menghadapi masalah yang sangat “global”. Pemanasan global, yang sedang dibicarakan saat ini, adalah awal  kemarahan, yang dilakukan oleh alam. Karena manusia, merasa diri lebih “pintar” dari pada alam yang lain.
            Untuk itu, membangun “bangunan” di Papua bersama “kuli bangunan lokal” adalah keputusan (kebijakan) yang cocok. Mengapa? Karena mereka (orang Papua asli) tidak perlu membutuhkan waktu untuk mempelajari keadaan lingkungan sekitar (terutama mempelajari otak dan tangan alam). Tidak seperti “kuli bangunan” orang pendatang. Dimana meraka dituntut untuk mempelajari “otak” dan “tangan” alam Papua. Karena, otak alam Papua tidak sama dengan otak alam di daerah Indonesia lainnya. Mengapa? Karena banyak data (buku) yang bisa dapat untuk mempelajari tentang alam di daerah lain di Indonesia. Tetapi alam Papua, selain kurangnya data (buku) tentang itu, alam Papua sangat misterius, sehingga membutuhkan waktu yang sangat panjang untuk mempelajarinya.                        

Membangun SDM Profesional orang Papua
Membangun kuli bangunan lokal, berarti membangun sumber daya manusia profesional orang Papua. Mengapa? Karena, membangun rumah berarti membangun kehidupan. Setiap orang perlu merencanakan kehidupan masa depan bermula dari membangun rumah sebagai sebuah infestasi masa depan bagi keluarganya. Terutama anak cucu mereka. Rumah menjadi harta waris yang sangat berharga. Untuk itu, membangun rumah berciri khas Papua, membutuhkan tenaga dan manusia berkarakter Papua yang memiliki keterampilan dan kealihan dan “pertukangan” sebagai kuli yang profesional. Mengapa? Karena rumah adalah jati diri dan identas pribadi pemilik. Untuk itu, dalam membangun rumah sebagai infestasi masa depan, persoalan-persoalan yang sering terjadi perlu menjadi perhatian ”khusus”. Misalnya, pengurusan izin mendirikan bangunan (IMB), persoalan tanah dimana rumah itu akan dibangun (sertifikat tanah), bencana alam (gempa bumi), kesediaan bahan bangunan (material yang akan dipakai), kemampuan finansial atau  rencana anggaran biaya (RAB), dan yang tidak kalah penting adalah tukang atau ”kuli bangunan” yang akan dibangun atau mengerjakan rumah itu. Mengapa? Persoalan kuli bangunan menjadi maslah utama saat ini di Papua? Karena orang Papua telah mengidap budaya malas kerja, dan menggangap “kuli bangunan” adalah suatu pekerjaan memalukan. Yang pada gilirannya banyak orang Papua tidak mau jadi kuli bangunan.
            Merencanakan rumah tahan gempa adalah upaya menata masa depan, dan menyelamatkan harta waris bagi anak cucu. Untuk itu, sebelum mendirikan rumah, faktor-faktor yang disebutkan diatas adalah hal-hal yang perlu dipikirkan. Selain itu, penataan ruang (kamar-kamar), perlu disesuaikan dengan   penghuni (orang yang tinggal dalam kamar itu), agar beta tinggal di rumah (kamar). Misalnya, kamar tidur anak, memberi berbagai warna, dan dilengkapi dengan mainan dalam kamar tersebut. Hal ini membantu ”mengatasi” anak balas belajar dan bermain dengan teman sebaya di lingkungan sekitar rumah itu berada.
            Mengurangi dan membayar biaya listrik secara hemat, dilakukan dengan cara memanfaatkan pencahaayaan alami (siang hari/ pencahayaan matahari). Banyak rumah-rumah (orang Papua) lebih banyak yang menggunakan batu batako dengan pelesteren dinding dan  memberi jendela apa adanya.  Tanpa memikirkan kenyamanan, dan kesehatan dalam rumah. Terutama dalam pemanfaatan pencahayaan alami. Dengan kita memberi banyak bukaan (jendela) yang menghadap ke timur atau barat, akan memberikan kenyamanan dalam rumah. Ukuran jendela disesuaikan dengan besar kamar yang akan menerangi. Dengan memanfaatkan pencahayaan alami ini, maka kita sudah dapat “mengatasi” (mengurangi) dan menghemat biaya listrik.
Banyak rumah di Papua, lebih cenderung menggunakan pencahayaan buatan (listrik) pada siang hari. Sehingga, ini akan berdampak pada pemborosan, dan pembengkakan biaya pembayaran listrik (rekening tagihan listrik). Lebih jauh dari itu, selalu terjadi pemutusan listrik secara bergiliran. Di Paniai pada bulan Maret 2008, hampir satu minggu mati listrik (kehabisan solar). Mengapa? Karena banyak rumah yang ada jaringan listrik memasan listrik pada siang hari. Sementara, di Paniai adalah kondisi alam yang sangat baik untuk memasukan pencahayaan alami dan penghwaan alami (angin). Pencahayaan alami (siang hari) itu gratis (tanpa bayar) tidak seperti pencahaayaan buatan. Sehingga, kita dapat memanfaatkan dengan desain arsitektural dalam merancang bangunan rumah tinggal atau pun bangunan jenis lainnya (misalnya, kantor-kantor pemeritnah dan swasta).
Tanah Papua adalah tanah yang kaya (dipenuhi) dengan hutan rimba, dengan beragam jenis pohon. Satu pertanyaan yang layak diajukan bagi orang Papua adalah mengapa orang Papua lebih sering atau “suka” menggunakan batu/ batako dengan dinding masif (tertutup). Apakah itu yang disebut dengan bangunan modern? Mengapa kita (orang Papua) tidak mau atau malas tahu dengan hutan kita? Sementara, orang China (insfestor asing) berusaha mati-matian untuk mendapat kayu-kayu itu, dengan berbagai cara. Belum terlambat karena hutan kita masih banyak, yang kita bisa manfaat untuk segala keperluan, terumata dalam penggunaan bahan bangunan (rumah). Lalu pertanyaan lainnya adalah apakah sumber daya manusia sudah siap untuk mengelola hutan itu? Karena orang Papua tidak ada orang yang “mau” jadi kuli bangunan (tukang kayu).

Menghargai bentuk ciri khas Papua
Setelah kita mengatur manusia dan lingkungan sekitar, langkah selanjutnya adalah membentuk arsitektur berciri khas Papua. Setiap suku bangsa di dunia memiliki arsitektur dengan bentuk dan ciri khas masing-masing. Bentuk-bentuk yang berbeda ini di dipengaruhi oleh kondisi lingkungan setempat (sosial budaya, geografis, ikllim dan lain sebagainya). Sehingga rumah (arsitektur) yang mereka (leluhur) hadirkan juga sesuai dengan kondisi lingkungan ini. Untuk itu, dalam membangun dan membentuk arsitektur Papua, tidak perlu mengadopsi bentuk-bentuk dari daerah lain (luar Papua). Seringkali manusia Papua saat ini menggangap bentuk-bentuk rumah baru “moderen” itu yang terbaik, aman, nyaman. Tetapi, satu kekawatiran (bagi saya)  adalah manusia Papua sedang kehilangan bentuk dan ciri khas arsitekturnya. Hal ini, diperparah dengan belum adanya upaya pendokumentasian oleh semua pihak terkait (pemerintah, masyakarat, LSM). Lebih jauh dari itu adalah mahasiswa asal Papua yang kuliah di jurusan teknik arsitektur, tidak pernah berpikir tentang hal ini.
            Satu pekerjaan rumah (PR) yang sampai saat ini kita (orang Papua) belum jawab adalah kurangnya kesadaran diri untuk menghargai (terima dengan apa adanya) terhadap hasil karya nenek moyang kita (arsitektur tradisional Papua). Selain itu, setiap suku yang ada di Papua mempunyai bentuk dan ciri kahs arsitektur yang beragam. Sehinga ini adalah kekayaan orang Papua yang perlu di jaga dan dilestarikan (bukan sama sekali bentuk tradisional secara menyeluruh). Tetapi, yang perlu dipertahankan disini adalah bentuknya. Karena kita tidak dapat dipungkiri bahwa,  perkembagnan jaman menutut perubahan segala aspek kehidupan manusia (termasuk didalam adalah perubahan bentuk/ atau justru kehilangan bentuk arsitektur).
            Perkembangan tekonologi informasi, membawa dampak positif dan negatif. Dampak positif yang dimaksud disini adalah dengan hadirnya berbagai software (AutoCAD, 3D max, Sketh-up, map-info, dll). Perangakat lunak berbasis IT ini memudahkan kita (para arsitek, perencana kota dan pengambil kebijakan)  untuk tetap menghargai bentuk-bentuk arsitektur tradisional. Dengan tetap menggunakan bahan bangunan yang modern sekalipun. Dengan bantuan software semacam ini. Sementara itu, dampak negatif  yang memegaruhi kehilangan arsitektur Papua saat ini adalah anggapan manusia akan suatu bentuk arsitektur ”baru” yang  selalu dianggap ”baik dan benar”. Dan lebih jauh dari itu, suatu bentuk ”penjajahan” dan ”hegemoni” negara untuk menghilangkan bentuk-bentuk arsitektur Papua.
Satu hal yang perlu diketahui orang Papua (generasi muda) adalah perlunya, kesadaran diri untuk menghargai dan mencintai  hasil karya leluhur. Mengapa? Karena bentuk-bentuk arsitektur tradisional merupakan ”jati diri dan indentitas” bagi yang memilikinya (bangsa Papua). Menurut hemat saya, orang Papua saat ini telah mengidap virus budaya ”ikut ikutan” tanpa memerdulikan (memikirkan atau menanyakan) asal usul bentuk arsitektur yang baru dibangun itu.       

Asrama Mahasiswa Papua ”Kamasan I”, Yogyakarta. 22 Oktober 2007

Tidak ada komentar: