Kota Jayapura (Foto. Yunus) |
Pemekaran Provinsi dan
Kabupaten di tanah Papua yang sedang giat dilakukan saat ini adalah jawaban
atas kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Papua. Namun dipihak lain, pemekaran itu adalah sebuah lahan “subur” untuk “menanam, meninggalkan,
membangun” politik penguasa di bidang arsitektur dan ruang-ruang kota di Papua.
Baik di tingkat Provinsi, Kabupaten dan Kecamatan. Dan pemekaran adalah “bukan
politik jabatan semata”. Tetapi persoalan mendasar adalah politik arsitektur dan penataan ruang-ruang
kota tanpa identitas. Undang-undang no 21 Tahun 2001, tentang otonomi khusus
Papua, tidak mengatur tentang bagaimana kota-kota dan bangunan di Papua itu
dirancang (ditata).
Tetapi, didalam undang-undang itu hanya mengatur bagaimna
dana otonomi khusus [triliun rupiah] itu digunakan. Hal ini menandakan bahwa tanah dan manusia
Papua, akan kehilangan dan krisis identitas (arsitektur dan ruang kota).
Kota-kota dan bangunan hadir tanpa suatu metode dan indetitas yang jelas.
Sehingga konsep yang digunakan itupun kaku, keliru berbau akulturasi, politis
dan tanpa acuan yang jelas. Dimanapun dan kapanpun hal ini akan terjadi. Pemekaran kota dan wilayah adalah menata ruang kota dan citra bangsa (penguasa). Namun yang menjadi pertanyaan adalah menata bangsa apa? Apa konsep perancagan dalam perencanaan kota dan bangunan? Mengapa harus mengadopsi arsitektur Joglo? Bukankah setiap daerah memiliki kultur (letak geografis) yang berbeda? Karena ia merupakan suatu jawaban atas persoalan politik. Produk yang akan dihasilkan dari konsep perancangan dan perencanaan (arsitektur maupun ruang kota) akan terbentuk seperti orang (desainer) yang akan merenacakan itu. Entah siapa, arsitek, politikus, antropolg, atau pun dengan konsep kearifan lokal. Produk itu adalah ruang kota dan wilayah yang didalamnya hadir berbagai ”ciri” dan ”bentuk arsitektur”. Kota itu akan berbicara dan berdiri sebagai identitas suatu bangsa untuk membedakan "kami" dari "kamu".
Siapapun
pemimpin bangsa Papua (Gubernur, DPR, Bupati, Camat) semua itu adalah penggagas, penyalur, dan
pewujud atas terjadinya politik arstektur dan ruang kota. Baik putra daerah
walau sering mengatakan “tuan diatas
tanah sendiri” maupun pendatang akan terbentuk “karaternya penguasa” karena
semua itu telah memiliki landasan hukum yang harus dipatahui oleh semua warga
negara. Beberapa darinya adalah undang-undang Republik Indonesia No. 18/1999
tentang jasa konstruksi, undang-undang Republik Indonesia No. 28/2002 tentang bangunan gedung, dan Peraturan
pemerintah No. 15 / 2004 tentang perusahan Umum (perum) pembangunan nasional
(perumnas). Dalam kehidupan (kenyataan bahwa) undang-undang ini tanpa perduli
dengan keragaman bangsa (kesukuan), letak geografis, karakter dan perilaku
manusia dengan lingkungan sekitar.
Kehidupan manusia (Papua) yang ruang geraknya yang telah dibingkai oleh
negara (penguasa). Dengan demikian, slogan "demi bangsa" adalah
gabungan politis, yang mendorong sejenis pembayangan yang mudah diperdaya oleh
penyusun strategis untuk mencapai tujuannya (tinggalkan pesan politik
arsitektur dan ruang kota). Namun, yang menjadi pertanyaan adalah apakah tanpa
gagasan bangsa, arsitektur dan ruang kota di Papua tidak akan bermakna? Mengapa arsitektur dan ruang kota sebagai
gagasan bangsa dalam politik penguasa? Apakah manusia Papua tidak
memiliki konsep penataan kota dan kampung? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan
penting yang perlu kita jawab bersama.
Apa itu
arsitektur?
Kebanyakan orang, terutama
mahasiswa arsitektur bila ditanya, barangkali akan berkata bahwa arsitektur
itu ilmu seni, arsitektur itu ilmu
bangunan, arsitektur itu ilmu merancang, arsitektur itu ilmu yang belajar tentang
kota, jalan, jembatan dan rumah, bahkan sampai ada yang berpendapat arsitektur
itu gabungan dari semua ilmu yang ada. Dan masih banyak pendapat lain tentang
definisi arsitektur. Arsitektur adalah “indeks budaya” yang mempunyai
“wujud berbeda” pada “masyarakat” yang “berbeda” (A.C. Antoniades),. Sementara
itu, J.C. Snyder. Berpendapat arsitektur merupakan tempat “bernaung” dari yang paling “sederhana”
hingga yang paling “rumit”. Pernyataaan Snyder secara jelas memberi
gambaran dimana arsitektur sebagai bagian dari rumah (sederhana) sampai melihat
dan memecahkan persoalan-persoalan di kota (rumit). Arsitektur adalah lingkungan
binaan (built environment) yang berfungsi untuk perlindungan dari
bahaya dan untuk menampung kegiatan manusia serta sebagai “identitas status
sosial”. Arsitektur berkaitan dengan perancangan, yakni suatu konstruksi
yang dibuat dengan “sengaja” untuk menggubah lingkungan fisik
melalui suatu cara/ sistem penataan tertentu. Arsitektur berkaitan dengan
“budaya”, memiliki sistem “lambang”, makna serta skema kognitif.
Sedangkan, Edward T White, berpendapat
arsitektur merupakan kegiatan merancang, yakni kegiatan mengenali
dan merakit unsur bangunan dengan cara-cara tertentu. F.D.K. ChingI
menyatakan, arsitektur pada umumnya “dipikirkan” (dirancang) dan “diwujudkan”
(dibangun) sebagai tanggapan terhadap sekumpulan kondisi yang
kadang-kadang hanya bersifat fungsional semata atau merupakan refleksi
sosial, ekonomi, politik, perilaku atau tujuan-tujuan simbolis.
Pendapat
F.D.K. Ching, sangat relevan dengan kenyataan yang terjadi di Papua. Dimana
arsitektur itu ”dipikirkan” (dirancang) seperti “karakter” penguasa/
perancang. Dirancang dan diwujudkan, dengan pertimbangan tujuan-tujuan tertentu
(simbolis). Pendapat Ching bukan merupakan sebuah teori semata. Melainkan telah
nyata, dengan dibangunnya, Momumen
Pembesan Irian Barat di Makasar. Deretan rumah Honai di Taman Mini Indonesia
Indah (TMII), selain itu, hampir 90% nama-nama jalan kota-kota dan kampung kota
di Papua adalah sebutan (nama) pahlawan NKRI (Yos sudarso, Budi Utomo, Kusbini,
dan seterusnya dan sebagainya). Pertanyaan penting untuk orang Papua (khususnya
mahasiswa arsitektur, planologi dan teknik sipil) adalah apakah orang atau
tanah Papua tidak memiliki catatan sejarah penting, atau nama yang unik, yang
dapat dijadikan sebagai nama jalan atau gedung?. Tetapi semua itu bukan salah
kita (manusia Papua) Mengapa? Karena arsitektur itu dirancang oleh manusia
(penguasa), lalu dibangun dengan segala sumber daya (arsitek, uang dan tenaga
kerja) dengan satu paket peraturan dan undang-undang. Identitas suatu suku atau bangsa bukan
terlihat dari pakaian adat atau lagu daerah. Tetapi arsitektur sangat berperan
dalam proses perubahan sosial dan jaman yang pada akhirnya melahirkan anak yang
namanya ”krisis identitas” suatu suku bangsa. Arsitektur adalah simbol batas
teritori (wilayah) pada daerah kekuasaan oleh suatu suku bangsa/ negara.
Arsitektur akan tumbuh dan berkembag, seiring perkembangan jaman. Dan akan
berdiri kokoh sepanjang kemampuan dan ketahanan struktur itu masih kuat
(dijamin). Dengan demikian jelaslah bahwa arsitektur menggambarkan status
sosial dan psikologi orang dalam permukiman atau kampung kota atau bahkan kota
sekalipun. Dengan demikian kita dapat mengatakan bahwa arsitektur itu
sebagai “sebuah lanan politik yang subur dan permanen”. Karena, orang tidak pernah membangun
rumah untuk sementara waktu. Sekalipun itu bangunan darurat, misalnya, pada
saat gempa, longsor, sunami. Namun, yang terjadi di Papua adalah “semau gue”
tanpa mengadopsi unsur budaya atau bahan lokal yang bisa dimanfaatkan untuk
dibangun sebagai identitas budaya bangsa Papua.
Apa itu
ruang kota?
Apa arti istilah “kota”? Kapan sebuah pemukiman boleh
dikatakan kota? Apa kriterianya? Darimana dapat diterima standar-standar dasar
yang memungkinkan suatu pendekatan terhadap kota, baik pada saat lampau sampai
saat ini? Jawaban atas deretan pertanyaan diatas akan tergantung pada
sudut pandang seseorang dan bidang ilmunya. Misalnya, seseorang yang berprofesi
geografi akan menekankan pada permukaan kota dan lingkungannya. Seorang geolog,
akan menekankan pada kota dan tanah dibawah dan bagaimana hubungannya dengan
pembangunan. Adapun seorang antropolog, memangdang kota dari budaya dan
sejarahnya. Lain halnya dengan seorang politikus yang menekankan pada cara
mengurus kota dan bagaimana hubungan antara pihak pemerintah dan swasta. Sementara seorang sosiolog, berfokus pada klasifikasi
permukiman kota dari semua aspek sosial. Sedangkan seorang kesehatan akan
memperhatikan lingkungan kesehatan permukiman kota. Dan semua disiplin ilmu
memiliki pandangan yang berbeda terhadap definisi kota. Dan pada akhirnya
seorang arsitek memiliki beberapa sudut pandang dengan memertimbangkan berbagai
persoalan yang terkait didalamnya. Dengan memperhatikan hubungan antara ruang
dan massa perkotaan serta bentuk dan polanya dan bagaimanakah semua hal itu
dapat tercapai. Kemudian muncul pertanyaan; apakah mungkin merumuskan
kompleksitas kota dengan memasukkan semua aspek yang terlibat di dalam kota itu?
(Markus P Bawole)
Urutan pertanyaan seperti di atas tidak mudah untuk dijawab
(mendapat definisi kota yang jelas). Mengapa? Karena istilah “kota” secara
arsitektural masih banyak aspek yang perlu diperhatikan dan masing-masing aspek berbeda dari satu
daerah dengan daerah lain. Namun, kita mencoba menjawab dari beberapa pendekatan
pendapat, mengenai definisi kota itu? Definisi klasik mengatakan bahwa kota
adalah suatu permukiman yang relatif besar, padat, dan permanen,
terdiri dari kelompok individu-individu yang heterogen dari segi sosial (Amos
Rapoport).
Kemudian, seiring perkembangan jaman yang disebut moderen
(pascamoderen), Amos mengemukakan definisi kota dengan istilah moderen. Ia
merumuskan suatu definisi baru yang dapat diterapkan pada daerah permukiman
kota dimana saja. “sebuah permukiman dapat dirumuskan sebuah kota bukan dari segi ciri-ciri morfologis tertentu, atau bahkan
kumpulan ciri-cirinya, melainkan, dari segi suatu fungsi khusus – yaitu menyusun sebuah
wilayah dan menciptakan ruang-ruang yang efektif melalui pengorganisasian
sebuah daerah pedalaman yang lebih besar bedasarkan hirarki-hirarki tertentu”.
Kemudian Amos
Rapoport mengutip pendapat Joerge
E. Hardoy, untuk memperjelas atas definisi kota
yang ia kemukakan diatas. Hardoy, menggunakan 10 kriteria secara lebih spesifik untuk
merumuskan kota kriteria kota sebagai berikut: 1). Ukuran dan jumlah
penduduknya besar terhadap massa dan tempat, 2). Bersifat permanent, 3).
Kepadatan minimum terhadap massa dan tempat, 4). Struktur dan tata ruang
perkotaan seperti yang ditunjukan oleh jalur jalan dan ruang-ruang perkotaan
yang nyata 5). Tempat dimana masyarakat tinggal dan bekerja, 6). Fungsi
perkotaan minimum yang diperinci. Meliputi sebuah pasar, sebuah pusat
administratif (pemerintahan), pusat militer, pusat keagamaan, pusat aktivitas
intelektual, 7). Heterogenitas dan pembedaan yang berdifat hirarkis pada masyarakat, 8). Pusat ekonomi perkotaan
yang menghubungkan, sebuah daerah pertanian di tepi kota dan memproses bahan
menta untuk pemasaran yang lebih luas, 9). Pusat pelayanan (service)
bagi daerah-daearah lingkungan setempat, 10). Pusat penyebaran informasi,
memiliki suatu falsafa hidup perkotaan pada massa dan tempat itu. Sementara itu, Max
Weber dalam (Pahl,1971:5). Mengemukakan ciri-ciri khas yang ada pada kota, adalah
adanya “batas-batas” yang tegas. Mempunyai “pasar”. Ada pengadilan dan mempunyai “peraturan”
sendiri (PERDA) disamping undang-undang secara umum. Terdapat perkumpulan dalam
masyarakat yang berkaitan dengan kegiatan kota itu sendiri.
Kenyataan bahwa, kota-kota di Papua hidup dan berkembang
bagaikan sebuah peluru rudal “tanpa kendali”. Pejabat dan penguasa (pihak
berwenang) hanya berpikir dan mengendalikan kunci rudal “dompet rakyat”, yang
berisikan hasil jualan pasar tradisional (bukan pasar moderen yang dimaksudkan
dalam teori kota diatas). Tanpa memperduli rudal itu akan meledak entah kapan
dan dimana. Penataan dan perencanaan kota dan
kampung kota ini tidak pernah mendapat perhatian serius. Apa lagi proyek itu
dilaksanakan oleh pemimpin (gubernur-bupati-camat) yang sebelumnya berbeda orang (pemimpin). Sehingga diperlukan
suatu acuan pembangunan perencanaan kota (master plann city). Konsep
yang dipakai dalam menangani kota di Papua saat ini adalah penataan dan
perencanaan “bukan perancangan” sehingga banyak kota di Papua arah pengembangan
kotanya ”tidak jelas”, ”keliru”, ”mengandung unsur politis”. Mengapa dikatakan
harus menggunakan “peracangan” (bukan perencanaan) karena perancangan
melibatkan semua pihak dalam proses perencanaan kota sebelum hasil akhir
menjadi rencana umum kota (master plan city). Master plan city adalah
perencanan dan perancangan kota dengan jangka waktu yang panjang (akan datang).
Dampak yang dirakasan akibat perencanaan
kota tanpa master pelnn city, seperti sebagian besar masyarakat pigir kota
Jakarta terjadi “penggusuran”. Salah siapa?
Apakah pemerintah, sebagai pengambil kebijakan “penguasa”? Para
perancang seperti arsitek, perencana kota dan wilayah, sebagai pewujud ide dan
gagasan penguasa? Ataukah masyarakat itu sendiri? Jawaban kembali pada diri
kita masing-masing. Tetapi semua itu berawal dari penguasa. Karena yang
meletakan “batu pertama” sebagai tanda untuk membangun atau memulai suatu
proyek (pembangunan kota, jalan, jembatan, dan gedung) adalah pemerintah (penguasa).
Salah satu budaya pejabat (penguasa/ pemimpin) Papua,
siapapun dia (putra daerah/ pendatang) yang menurut hemat saya perlu
ditinggalkan adalah memiliki visi dan misi yang berbeda (pada setiap periode
kepemimpinan). Tetapi tujuan semua itu adalah hanya satu masyarakat dan satu
tanah air (Papua). Mulai dari tingkat provinsi sampai dengan Desa. Dan leibh
jauh dari itu, adalah pada saat pemelihan kepala daerah (PILKADA) itu
dilaksanakan. Semua partai politik memiliki paradikma (strategi) yang berbeda.
Untuk memenangkan suara pada akar rumput (yang tidak tahu dengan yang namanya
pembangunan) dalam PILKADA itu dilaksanakan. Hal itu diperparah dengan,
pertarungan elit politik lokal. Yang memiliki beda visi tapi satu tujuan. Hal
yang menyangkan adalah jika seseorang kandidat tidak terpilih sebagai Gubernur
atau Bupati, maka terjadi konflik horisontal (tidak berjiwa besar) atas proses
demokrasi itu. Semua itu boleh terjadi, dan siapa pun boleh memimpin Papua.
Tetapi yang terpenting adalah semua unsur (pemerintah, masyarakat adat,
akademisi, gereja) yang ada di Papua duduk bersama dan merancang sebuah konsep
pembangunan yang berkelanjutan (pada waktu yang akan dantang). Dengan moto,
”Jaman dan pemimpin boleh berganti dan berubah tetapi tujuan pembangunan tetap
satu (jelas, terarah, transparan, mempunyai jati diri, berlandaskan pada hukum
adat dan agama).
Arsitektur
sebagai pesan politik yang permanen
Arsitektur tidak hanya mampu
memenuhi hasrat dasar berkegiatan manusia dalam batas ruang yang dihasilkannya,
tetapi juga mampu menyampaikan makna apabila para pemakai mampu menafsirkannya.
Karya arsitektur dan ruang perkotaan mudah menjadi media penyampaian pesan
politis seorang penguasa (penjajah). Sejarah mencatat bahwa kaisar, diktator,
dan penguasa mendirikan bangunan dan ruang kota monumental untuk membangkitkan
suasana khusus dalam menjaga wibawa, membina semangat, atau bahkan mengancam
rakyatnya. Kebiasaan ingin meninggalkan suatu proyek sebagai prestasi selama
menjabat hingga kini masih menghantui para penguasa di Indonesia. Arsitektur
dan ruang perkotaan itu hasil tata olah sosial budaya suatu masyarakat dengan
arsitek berada di dalamnya. Arsitek, pada gilirannya “terbingkai” di
dalam keadaan politik masyarakat saat dia berkarya. Arsitek Indonesia boleh saja
menempatkan diri sebagai profesional yang tak berpolitik, namun mereka tak
”berdaya” melepaskan diri dari iklim politik penguasa meski berupaya kuat untuk
menghindar dari pengaruh kepentingan pemerintah.
Melalui
karya arsitektur, gagasan kebangsaan dan kenegaraan menjelma mendekati
kenyataan sehingga mudah dirasakan oleh masyarakat Papua dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam mengangkat gagasan kebangsaan, Ben Anderson menganggap
bangsa merupakan suatu pembayangan tentang sebentuk masyarakat yang wujudnya tak
pernah nyata. Melalui kacamata khusus, Abidin Kusno meneropong gagasan yang
terkandung dalam diri para penguasa melalui proyek-proyek khusus selama
menjabat. Dengan jeli dia membedah budaya berarsitektur para arsitek sebagai
penyalur gagasan politik yang dihadirkan oleh penguasa. Pemerintah sebagai
pihak penjajah yang merasa berkewajiban mengangkat harkat hidup obyek jajahan,
sambil tetap memegang teguh statusnya sebagai pihak pemberi dana, dan gagasan pembangunan.
Perubahan sosial dapat
berlangsung melalui tata ruang kota dan dan bangunan. Perubahan pemerintahan
dari yang berdasarkan kelompok ras dan suku bangsa ke pengelompokan berdasarkan
status sosial. Orientasi baru ini memberi kesempatan kepada arsitek Indonesia
yang lebih berorientasi sosial berpaling ke sumber-sumber lokal. Dengan
meneliti segi teknis yang terukur dan lebih ilmiah, arsitek kelompok ini
menghasilkan wujud bangunan tertentu yang mengacu pada sumber kebudayaan lokal
tanpa menghadirkan sisi spiritual tak terukur. Wujud bangunan tersebut
merupakan suatu hasil campuran (joglonisasi) yang menunjukkan perhatian dan
pengakuan terhadap keberadaan perbedaan, namun sekaligus mengabaikannya (yang
ada disana). Dalam membangun bumi jajahan, kelompok yang peduli unsur lokal
adalah putra-putra daerah yang memiliki pengetahuan sebagai penanding, bagi
penguasa dengan menghadirkan arsitektur berwawasan lokalitas Papua. Mereka (mahasiswa jurusan arsitektur sebagai
calon arsitek masa depan asal Papua) perlu menganut paham modern yang menghargai identitas lokal.
Pengutamaan ke"modern"an sebagai ukuran keilmiahan cenderung
merendahkan mereka yang "tertinggal" atau dianggap berada di masa
lalu (kuno, kampungan, tradisional dan primitif). Sementara itu, penghargaan
atas warna lokal belum tentu mengangkat harga diri terjajah karena yang
merintis juga dari luar, bukan dari dalam.
Gedung
Bandar Udara Enarotali, ibu kota Kabupaten Paniai, Kantor PDAM Kabupaten
Nabire, Mesdjid Agung Timika, Gedung DPRD Papua di Jayapura adalah
contoh-contoh pesan politik bangsa dalam arsitektur di Papua. Dengan jelas bahwa pada beberapa
bangunan ini memperlihatkan bangunan dengan bentuk rumah adat Jawa (Joglo).
Dalam UUD 1945 mengatakan “yang menjadi presiden adalah orang Indonesia asli”.
”Indosesia asli” adalah orang Jawa, karena sejak Indonesia merdeka sampai saat
ini yang menjadi presiden adalah orang Jawa (bukan; Sumatra, Sulawaesi,
Kalimantan, Papua). Ini berarti bahwa pejajahan
atas rakyat telah terjadi di Indonesia. Lebih jauh dari itu, daerah yang
ingin memisahkan diri (Aceh, Poso, Maluku, dan Papua) dari NKRI penguasa
betul-betul akan pembangunan dengan maksud meninggalkan pesan politik dalam
arsitektur dan ruang kota. Sehingga semua bangunan ataupun perencanaan ruang
perkotaan tidak memperdulikan kondisi dan lingkungan setempat. Satu program,
satu konsep, satu arsitek untuk semua
daerah di Indonesia adalah moto pembanguan dalam pesan politik arsitektur dan
ruang kota.
Sejarah mencatat bahwa
arsitektur dan ruang kota menjadi icon dan pesan politk bagi penjajah (penguasa)
yang permanen dan monumental. Siapapun pemimpin (penguasa) (Presiden, Gubernur
dan Bupati) ketika menjadi pemimpin adalah merupakan penyumbang atau penyalur
gagasan bangsa yang amat berperan dalam perkembangan arsitektur di kota dan daerah. Politk dalam arsitektur
dan ruang kota berjalan secara dinamis dan transparan, tetapi sulit untuk
mengetahui maksud dibalik semua itu. Penjajah (penguasa) selalu mementingkan
kepentingan jati diri bangsanya dari pada mengangkat identitas bagi yang
dijajah. Mereka menggangap apa yang ada di daerah jajahan (kekuasaan) adalah
tidak berharga, tidak bernilai, kuno, tradisional, dan ketinggalan. Sehingga,
dengan muda membuat Undang-undang dan peraturan, agar semua daerah kekuasaan
dapat mematuhui aturan dan undang-undang itu. Karena gagasan politik arsitektur
merupakan suatu proyeksi yang perlu bagi
penguasa untuk mencapai suatu cita-cita untuk menghilankan identitas lokal
(arsitektur Papua).
Papua
dengan heterogenitas arsitektur kesukuan (arsitektur tradisional), tidak lagi
mengindahkan sejalan perkembangan jaman. Karena setiap manusia Papua di jaman
digital ini, telah mengidap virus ”ikut-ikutan”
”yang baru itu yang terbaik”. Dan sebaliknya, sudah mengidap virus
dengan anggapan yang lama itu ”kuno, tradisional, ketinggalan, kampungan, dan
lain-lain. Tetapi perlu ketahui bahwa yang baru itu belum tentu baik dan
bermakana filosofis. Dou-Gaii-Ekowai
(melihat-berpikir dan melakukan).
Asrama
Mahasiswa Papua “Kamasan I” Yogyakarta, 12 Maret 2008, pukul 00:00 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar