Anak-anak Main Bola di Kogekotu Enarotali, (Foto Yunus) |
Dunia anak adalah dunia yang penuh
dengan keunikan. Setiap anak memunyai keunikan dan pengalaman tersendiri. Dimana ia tinggal? Dengan siapa ia
bermain atau belajar? Apa jenis permainan atau perlengkapan belajar yang ia
sukai? Apakah ia lebih suka belajar didalam rumah ataukah lebih suka
bermain diluar rumah? Ini adalah pertanyaan penting yang kita jawab bersama
atas terbentuknya karakter (perilaku) dan perkembangan anak. Ada dua penyebab yang membuat anak malas
belajar dalam rumah diantaranya:
Pertama, perancangan konstruksi bangunan rumah (desain
arsitektural). Banyak keluarga jarang memperhatikan
(memerdulikan) hal ini. Mereka masih menganggap rumah
sebagai “benda mati”. Padahal, rumah pada hakekatnya bukan hanya tempat tinggal
belaka, melainkan juga tempat terbinanya kasih-sayang diantara keluarga, tempat
dibinanya anak-anak menjadi manusia. Tempat berkembangnya generasi muda harapan masa depan bangsa. Oleh sebab
itu, sesuai fungsinya, orang tua harus mampu menjamin seluruh penghuni agar
betah di rumah, terutama anak-anak senang belajar dalam
rumah.
Itulah sebabnya, konstruksi-desain-tata-ruang-dan corak
warna dalam suatu rumah perlu diperhatikan dengan seksama. Rancangan rumah
secara tak langsung mempengaruhi jiwa penghuninya. Bahkan, kalau memungkinkan,
sangat baik bila disediakan pula ruang belajar khusus anak, yang ditata
sedemikian rupa (mulai dari penataan kamar, ornamen, bentuk, warna dan perlengkapan permainan lainya) agar si anak bisa betah bertahan belajar di
rumahnya atau diruangnya sendiri.
Ruang belajar itu tak perlu mewah, dalam arti luas serta
diisi perabot yang mewah. Cukup sederhana saja.
Secara psikologis ini akan membuat anak terbiasa dengan kesederhanaan hidup.
Letaknya tentu tidak boleh sembarangan. Usahakan, sedapat mungkin. Hindarilah
kondisi fisik yang gelap, pengap, dan tidak menyegarkan, serta jangan terlampau
dekat dengan kamar atau pun tempat tidur.
Ruang belajar ini dapat bermacam-macam ragamnya,
tergantung kondisi keluarga yang bersangkutan. Bagi yang mampu dari segi pendapatan, barangkali baik jika disediakan kamar khusus tempat
belajar. Di tempat ini anak diberi keleluasaan untuk berkreasi dan
mengembangkan potensi diri. Berilah mereka (anak-anak) hak otonomi penuh
atas ruangan itu. Biarkan mereka
menciptakan dunia sendiri. Orang tua hanya
mengarahkan, membimbing, serta mengontrol saja. Hal ini akan mendewasakan diri
sang anak. Agar kecil ia terbiasa
bertanggung jawab, serta memikul akibat-akibatnya yang
terjadi pada saat bermain atau belajar. Misalnya, bila anak itu jatuh pada saat
bermain, maka dia akan menjadi dokter sendiri untuk berusaha mengobati
kesakitan yang dialaminya.
Kedua, tata perangkat lunaknya, yakni perangkat-perangkat
pengisi yang memperlancar proses belajar. Misalnya, pengaturan cahaya lampu
atau sinar matahari. Sekalipun tampaknya memang kurang berarti, namun
kenyataannya hal itu sangat berpengaruh. Hal ini dapat kita mengerti dari fakta
yang dapat kita jumpai setiap hari. Buku-buku misalnya, kebanyakan warna dasar
kertasnya putih, yang cenderung kuat memantulkan cahaya. Karena mata harus
bekerja keras untuk mengimbangi energi kuat yang dipantulkan dari kertas putih
tersebut. Tentu anak tak akan tahan belajar lama-lama. Begitu pula sebaliknya.
Cahaya lampu yang terlalu lemah akan menyebabkan mata lelah dan cepat berair,
kepala lekas pusing dan tegang, lalu akhirnya timbul rasa malas belajar. Cahaya
lampu perlu diatur sedemikian rupa agar mata bisa bekerja normal, tak
berkontraksi atau pun menegang. Bagaimana pun juga hal ini sangat penting,
paling tidak salah satu faktor telah dapat kita kendalikan.
Perangkat lunak lainnya misalnya kedisiplinan,
ketertiban, dan suasana kasih sayang. Yang dimaksud disiplin di sini bukan
berarti otoriter dan bersikap keras terhadap anak-anak. Karena sikap seperti
itu hanya akan menyebabkan si anak selalu merasa rendah diri, senantiasa salah
dalam melakukan apa saja, dan sebagainya. Padahal, potensi kreatif anak hanya
bisa tumbuh dalam suasana kebebasan yang terarah, bukan otoriter yang
dipaksakan.
Begitu pula ketertiban, yang termasuk di dalamnya
kebersihan dan keindahan. Pendek kata keharmonisan. Lingkungan rumah yang
nyaman, senantiasa bersih, dan rapi pasti akan menimbulkan hasrat
“menyenangkan”. Si anak akan betah berlama-lama di rumah. Siapa yang tidak
senang berada dalam lingkungan yang selalu bersih dan menyenangkan?
Namun demikian, semua itu tidak berarti sama sekali jika
suasana di dalamnya serba menakutkan, serba hitam. Sementara anak-anak lebih
menyukai, warna-warna terang (aneka warna terang). Rumah, bagaimanapun jeleknya, tetap bukan
pabrik tempat “memproduksi” manusia-manusia dan setelah itu dibiarkan begitu
saja. Rumah juga bukan sekadar tempat pengistirahatan.
Pada dasarnya, anak-anak tidak mau belajar bukan karena
dia malas. Kemalasan hanyalah akibat kekeliruan orangtua dalam merancang rumah.
Intinya sebelum membangun (mendirikan rumah) faktor-faktor yang disebutkan
diatas sangat penting menjadi pertimbangan utama agar si anak betah belajar dan
bermain di dalam rumahnya sendiri.
*) Penulis adalah Mantan Mahasiswa Fakultas Teknik,
Jurusan Teknik Arsitektur. UKDW, Yogyakarta.
Catatan: Tulisan ini pernah di muat di Majalah Selangkah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar