Foto: Ilustasi |
Ruang Amopiya Pustaka - Sistem
pengambilan Mas Kawin bagi perempuan suku Mee pada khususnya dan perempuan
Papua pada umumnya, pada zaman dahulu
tentu berbeda jauh dengan zaman sekarang, lagi pula beda maknanya. Dulu diambil
berdasarkan aturan dan fungsinya demi menjaga martabat perempuan sebagai
manusia.
Menurut Petrus Tekege dalam
Buku Perempuan Papua, Dulu Kini dan Masa Depan Dalam Fenomena Pembangunan, ada
lima makna pengambilan mas kawin berdasarkan norma, dan aturan yang berlaku
dalam masyarakatPapua [lihat, Petrus Tekege, Hal. 164-166]
Pertama,
Membayar harga susu ibu. Yang dimaksud membayar harga susu ibu adalah untuk
membayar atau memberikan penghargaan kepada ibu atau mama yang telah dengan
susah paya menjaga bayinya di dalam kandungan secara baik [penyelamatan nyawa],
melahirkan dengan penuh penderitaan, menyusui, memelihara dan merawat hingga
besar dan akhirnya pergi meninggalkan seluruh anggota keluarganya dan mengikuti
laki-laki sebagai suami, untuk membentuk keluarga baru.
Kedua,
Sebagai alat kontrol sosial. Artinya maskawin diambil agar tidak terjadi
persetubuhan [hubungan seks] diluar perkawinan yang sah. Jika sebelum berrumah
tangga si gadis ini sudah melakukan hubungan seks maka terhadapnya akan
dikucilkan di dalam pergaulan.
Ketiga,
Untuk membayar kesucian [keperawanan]. Setiap penggantin suami mengharapkan
agar calon istrinya harus masih perawan. Perempuan yang dicurigai atau ketahuan
sudah melakukan persetubuhan dengan laki-laki lain sebelum pernikahan yang sah
maka dengan sendirinya akan dikucilkan di lingkungan tempat dimana ia tinggal.
Walaupun ia sudah menikah tetapi batinnya tidak akan tenang [kacau] dalam
kehidupan karena dihantui perasaan bersalah, dan sering dipukul suami, bahkan
menurut adat harus diceraikan oleh suaminya manakala tidak perawan.
Keempat,
Untuk mengadakan garis keturunan suami. Membayar seorang perempuan dengan
mas kawin bukan berarti memiliki tubuh dari perempuan itu. Kemudian diasumsikan
telah membeli dan menguasai seluruh tubuh dari perempuan itu. Tetapi sebatas
membayar atau menyewah rahimnya untuk meneruskan keturunan laki-laki. Karena
secara kodrat laki-laki tidak memiliki fungsi reproduksi seperti kandungan.
Sedangkan alat reproduksi termasuk anggota tubuh lainnya adalah menjadi otonom
milik perempuan itu sendiri. Artinya tubuh selain kandungan [rahim] adalah hak
pribadi perempuan, oleh karena itu tidak bisa melukai, memukul istrinya, juga
pembayaran mas kawin pun dilakukan menurut aturan adat yang berlaku dalam
masyarakat.
Kelima,
Sebagai alat perkawinan. Perkawinan akan dianggap sah bila ada harta mas
kawin. Tanpa mas kawin, perkawinannya dianggap telah melanggar hukum adat yang
berlaku dalam masyarakat. Sebagai alat perkawinan berupa mas kawin sudah
diserahkan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan maka o rang di luar dari
laki-laki yang adalah suami sah tidak dapat melakukan perkawinan.
Jadi, mas kawin pada dasarnya
digunakan sebagai alat pengesahan perkawinan. Mas kawin diberikan oleh pihak
laki-laki. Harga mas kawin ditentukan oleh pihak gadis dengan batasan-batasan
tertentu. Batasan-batasan yang ditentukan harus dihormati. Sebagai contoh,
harga mas kawin ibunya tiga ratus rupiah [Rp. 300.000,-], maka harga anak
perempuannya juga harus tiga ratus ribu upiah, dengan tidak melebihi harga
maskawin ibunya.
Kebiasaan ini merupakan hukum dan
aturan adat yang berlaku dalam masyarakat. Berdasarkan keprcayaan masyarakat
bahwa apa yang telah menjadi kebiasaan harus dipatuhi oleh seluruh anggota
keluarga dan masyarakat, dengan alasan [1], mengabil mas kawin secara
berlebihan tidak akan mendapat keturunan. [2], mendapatkan keturuanan, tetapi
melahirkan anak yang cacat secara fisik atau non fisik dan samapi anak-anak
mereka meninggal. [3], keluarga diantara salah satu pihak, pihak suami atau
istri akan mengalami cacat secara jasmani dan atau meninggal. [4], mengambil
maskawin berlebihan berarti tidak menghormati aturan-aturan adatnya dan
melanggar martabat perempuan sebagai manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar