Karyawan PT. PUTRA DEWA PANIAI (Foto. Yunus A. Yeimo) |
Sejak jaman dulu orang Papua, tahu membangun rumah (arsitektur
tradisional). Hasil karya itu adalah setiap suku di Papua telah memiliki rumah
adat masing-masing. Yang membedakan itu, bukan karena beda suku, tetapi beda
bentuk “arsitekturnya”. Mengapa keterampilan ini kita (generasi muda Papua) tidak
dikembangkan? Mengapa hampir semua proyek fisik di Papua, “harus” (selalu) di
tangani oleh orang luar Papua? Sebenarnya kita (orang Papua) “bangga” punya
heterogenitas “arsitektur tradisional” dengan bentuk dan ciri khas yang
berbeda. Lebih jauh dari itu, arsitektur tradisional adalah hasil pengujian
(penelitian) alamiah yang dilakukan oleh nenek moyang, (leluhur orang Papua).
Pembangunan model apapun yang direncanakan (programkan)
oleh pemerintah, pada setiap tahun terutama pembangunan fisik ada ditangan
“kuli bangunan”. Tanpa kuli bangunan, semua program pemerintah tidak akan
terwujud. Untuk itu, pada saat ini kuli bangunan sebenarnya “bangga” karena
sebuah kota atau pun bangunan bertingkat rendah sampai bertingkat tinggi
merupakan buah karya (tangan) mereka. Walaupun dibalik itu ada pihak lain,
seperti pemerintah, arsitek, kontraktor, perencana kota dan wilayah. Lebih jauh
lagi bahwa, untuk membangun sumber daya
manusia orang Papua di bidang pendidikan non formal terutama tenaga profesional
di bidang pembangunan fisik, perlu bermula dari “kuli banguanan”. Pekerjaan (sebagai pekerja-kuli bangunan)
membutuhkan keterampilan dasar (basic
skill). Sehingga perlu ada lembaga pelatihan keterampilan (LPK), yang membidangi pertukangan (kayu, batu, besi, dan
lain-lain).
Bentuk dan bahan bangunan baru belum tentu menjawab
kebutuhan masyarakat (kenyaman, keamanan) dalam rumah atau kota sekali pun.
Mengapa? Karena pengujian alamiah yang dilakukan oleh leluhur kita memakan waktu
yang sangat panjang. Mulai dari pengujian bahan bangunan, pola kampung, iklim
di sekitar rumah, panas atau dingin. Rumah yang kita lihat saat ini kesimpulan
daripada riset yang mereka (leluhur orang Papua) lakukan itu. Menurut hemat saya,
tidak salah bila kita (pemerintah daerah), memberikan penghargaan kepada “orangtua” yang umurnya mencapai stengah abad (50
tahun) “jika ada saat ini”. Karena, merekalah pelestari (sumber informan)
budaya dan keterampilan membangun rumah. Tetapi, sebaiknya bukan hanya rumah,
tetapi dari semua unsur budaya yang ada di Papua.
Mengapa harus “kuli
bangunan” lokal?
Membangun Papua, terutama pembangunan fisik, harus bermula dari “kuli
bangunan lokal”. Mengapa? Karena berdayakan kuli bangunan lokal, berarti
mensejahterakan rakyat Papua. Dengan demikian, kita (pemeritnah) untung, masyarakat
(kuli bangunan lokal) untung. Sehingga uang (APBD) yang dikeluarkan itu tidak
“lari” ke kantong-kantong pendatang. Kuli
bangunan lokal, tidak pernah membutuhkan alat-alat (pertukangan) yang modern. layaknya
kuli bangunan pendatang.
Orang Papua, mengapa tidak ingin “jadi” kuli bangunan? Mengapa
pemerintah daerah tidak “buka mata” untuk melihat mereka (kuli bangunan lokal).
Sebenarnya, pemerintah “bangga” memiliki “kuli bangunan. Mengapa? Karena
pembangunan akan nampak (terwujud) atas kerja keras mereka. Begitu juga
sebaliknya (kuli bangunan) harus “bangga” karena maju dan tidaknya sebuah kota
ada di tangan anda (kuli bangunan). Tetapi, sebuah pertanyaan penting yang
layak kita ajukan bersama adalah mengapa kuli bangunan lokal (orang Papua)
tidak pernah nampak? Ataukah kurang fasilitas (peralatan pertukangan) untuk
jadi kuli bangunan? Menurut hemat saya,
kuli bangunan lokal jauh lebih memahami (pintar) dari pada kuli bangunan
pendatang. Karena, mereka (kuli bangunan lokal), sejak nenek moyang mereka
menetap mereka mengerti tentang iklim setempat, teknologi tradisional, bahan
bangunan dan bentuk yang cocok dengan perilku kehidupan manusia Papua dan
lingkungan setempat.
Untuk itu, membangun ‘bangunan” di Papua, bersama “kuli
bangunan lokal” adalah salah satu pekerjaan rumah (PR) bagi kita semua. Yang
mungkin sampai saai ini masih belum di jawab. Karena orang Papua, saat ini
tidak tahu, atau malas tahu untuk mendengar kata “kuli bangunan” karena
menggangap perkerjaan yang menjihjihkan. Memang benar, jadi kuli bangunan
berarti menjemur badan di panas terik
matahari, taruhan nyawa, dan masih banyak resiko yang lain. Apalagi orang
Papua, jika telah menyandang gelar sarjana, (entah sarjana benar/ bayaran)
tidak mau ketinggalan dengan mengejar gelar yang lebih tinggi yaitu “gengsi”. Sementara, kalau kita belajar dari
orang lain (orang Jawa), sarjana D3, S1 lulusan perguruan tinggi terkenal
bekerja sebagai penjaga toko (mall), penjahit sepatu, penarik becak, dan
lain-lain.
Keuntungan sebagai pekerja “kuli bangunan” adalah anda
bisa memborong (mencari pekerjaan) sendiri, atau melamar di sebuah perusahan
“jasa konstruksi”. Mengapa, karena pekerjaan kuli bangunan, adalah pekerjaan
sepanjang tahun. Dan tidak akan habis lahan pekerjaannya. Setiap tahun
kira-kira dana APBD 30% adalah untuk
pembangunan fisik. Itu berarti anda (kuli bangunan) tidak akan kehilangan
pekerjaan. Belum lagi pekerjaan membangun (mendirikan) rumah tinggal. Yang
dibangun dengan cara tradisional (mencari tukang/ pemborong sendiri oleh
pemilki proyek) yang dianggap berpengalaman dalam mengerjakan pekerjaan
membangun rumah.
Masyarakat Papua yang dulunya, telah ada sistim pembagian
kerja antara laki-laki dan perempuan. Saat ini, laki-laki orang Papua berada di persimpangan
jalan “kebingungan” (baca: Widarmi 2007). Karena, banyak laki-laki perkotaan
(pemuda-kota) menghabiskan waktu mereka dilorong-lorong kios, terminal dan toko
milik pendatang, sebagi penontong. Selain itu, banyak bapak-bapak
(dipegunungan-pedalaman) menghabiskan waktu mereka di balai desa. Lebih jauh
dari itu, laki-laki (orang Papua) telah kehilangan identitas diri sebagai
seorang laki-laki untuk menghidupi keluarganya. Karena, semua kebutuhan
keluarga dipenuhi oleh ibu (mama). Mengapa laki-laki Papua bisa berubah
(akulturasi) semacam ini? Untuk mengatasi hal ini, tugas siapa? Menurut hemat
saya, berdayakan, laki-laki (orang Papua) dari persimpangan “kebingungan”
melaui “membangun kuli bangunan” adalah salah satu solusi yang tepat. Karena
orang Papua tahu membangunan bangunan rumah tinggal, tetapi kurang pemberdayakan
mereka sebagai (kuli bangunan lokal).
Menghargai otak (dimi) dan tangan (gane) leluhur
Membangun “bangunan” di Papua bersama “kuli bangunan lokal” berarti menghargai otak (Dimi:Mee) dan tangan (Gane:Mee) leluhur. Dalam kehidupan
masyarakat Mee menyebut “utoma agiyo kouko
Mee ka gane duba keiya topai” (artinya; segala sesuatu “kekeyaan” yang
diperoleh manusia bersumber dari tangan). Itu berarti bahwa jika tangan manusia bergerak dan untuk
melakukan suatu perbuatan (pekerjaan) pasti ada hasil. Gane ka gota, (atas perbuatan tangan). Semua pekerjaan yang
dilakukan oleh manusia, entah perbutan yang baik atau perbuatan yang buruk,
semua itu merupakan atas perbuatan tangan. Sebelum tangan melakukan
(ekowai:Mee), jangan lupa proses pertama yang harus kita lalui yaitu “dimi gai” (berpikir) dengan otak.
Makna-makna filosofis
telah terkandung dalam setiap suku di Papua. Makna filosofis Suku Mee yang
telah disebutkan diatas adalah hanya salah satu contoh. Orang Mee melihat bahwa
segala sesuatu itu ada didalam tangan manusia. Sehingga tangan manusai harus
bekerja (melakukan) sesuai tugas dan tanggungjawab masing-masing. Bukan hanya
suku Mee, setiap suku yang ada di Papua mempunyai makna filosofis yang berbeda.
Dalam menata lingkungan dan menatap masa depan. Rumah adat (arsitektur
tradisional) dibangun atas kesepakatan semua pihak (lingkungan alam, manusia,
alam mistic dan ugatame; pencipta). Mengapa?
Karena, keempat unsur ini adalah dasar dan pedoman hidup manusia yang tidak
dapat dipisahkan. Walaupun manusia mengelola, alam tetapi ia harus meminta
kesepakatan dengan unsur yang lain. Tidak boleh salah satu unsur dirugikan atau
diuntungkan.
Semua otak (dimi) dan tangan (gane) dari unsur yang terkait
harus membuat kesepakatan kemudian mendirikan rumah. Mulai dari pemilihan lokasi
untuk mendirikan bangnunan sampai pada tahap menghuni dalam rumah itu. Jangan
salah berpikir bahwa alam itu, tidak punya dimi (otak) dan gane (tangan). Buktinya,
banyak terjadi gempa bumi dimana-mana. Tanah lonsor sampai memakan korban jiwa.
Ombak dan angin mengungcang rumah-rumah di sekitar pantai dan pohon-pohon
tumbang, memakan korban jiwa. Ini adalah akibat (ulah) manusia. Karena menganggap
memiliki “akal budi”. Sementara, alam dan alam yang lain merasa tidak punya
kekuatan apa-apa. Untuk itulah, diperlukan pelestarian alam dan lingkungan
secara kearifan lokal. Serta, menghargai dimi dan gane dari alam yang terkait.
Otak (dimi) leluhur orang
Papua benar-benar telah memahami “otak yang lain” (lingkungan alam, iklim,
panas sinar matahari, angin, hujan, dan lain-lain). Selain itu, leluhur kita
(orang Papua), tahu benar tentang kapan, dimana, dengan siapa, bagaimana “otak”
dan “tangan” alam yang lain itu bertindak. Entah bertindak (perbuatan) baik
atau jahat. Untuk memahami semua itu, leluhur kita (orang Papua), membutuhkan
waktu yang sangat panjang (ratusan bahkan jutaan tahun). Bukan hanya di Papua.
Manusia di dunia ini, menghadapi masalah yang sangat “global”. Pemanasan
global, yang sedang dibicarakan saat ini, adalah awal kemarahan, yang dilakukan oleh alam. Karena
manusia, merasa diri lebih “pintar” dari pada alam yang lain.
Untuk itu, membangun
“bangunan” di Papua bersama “kuli bangunan lokal” adalah keputusan (kebijakan)
yang cocok. Mengapa? Karena mereka (orang Papua asli) tidak perlu membutuhkan
waktu untuk mempelajari keadaan lingkungan sekitar (terutama mempelajari otak dan
tangan alam). Tidak seperti “kuli bangunan” orang pendatang. Dimana meraka
dituntut untuk mempelajari “otak” dan “tangan” alam Papua. Karena, otak alam
Papua tidak sama dengan otak alam di daerah Indonesia lainnya. Mengapa? Karena
banyak data (buku) yang bisa dapat untuk mempelajari tentang alam di daerah
lain di Indonesia. Tetapi alam Papua, selain kurangnya data (buku) tentang itu,
alam Papua sangat misterius, sehingga membutuhkan waktu yang sangat panjang
untuk mempelajarinya.
Membangun SDM Profesional
orang Papua
Membangun kuli bangunan
lokal, berarti membangun sumber daya manusia profesional orang Papua. Mengapa? Karena,
membangun rumah berarti membangun
kehidupan. Setiap orang perlu merencanakan kehidupan masa depan bermula dari
membangun rumah sebagai sebuah infestasi masa depan bagi keluarganya. Terutama
anak cucu mereka. Rumah menjadi harta waris yang sangat berharga. Untuk
itu, membangun rumah berciri khas Papua, membutuhkan tenaga dan manusia
berkarakter Papua yang memiliki keterampilan dan kealihan dan “pertukangan”
sebagai kuli yang profesional. Mengapa? Karena rumah adalah jati diri dan identas
pribadi pemilik. Untuk itu, dalam membangun rumah sebagai infestasi masa depan,
persoalan-persoalan yang sering terjadi perlu menjadi perhatian ”khusus”.
Misalnya, pengurusan izin mendirikan bangunan (IMB), persoalan tanah dimana
rumah itu akan dibangun (sertifikat tanah), bencana alam (gempa
bumi), kesediaan bahan bangunan (material yang akan dipakai),
kemampuan finansial atau rencana
anggaran biaya (RAB), dan yang tidak kalah penting adalah tukang
atau ”kuli bangunan” yang akan dibangun atau mengerjakan rumah itu.
Mengapa? Persoalan kuli bangunan menjadi maslah utama saat ini di Papua? Karena
orang Papua telah mengidap budaya malas kerja, dan menggangap “kuli bangunan”
adalah suatu pekerjaan memalukan. Yang pada gilirannya banyak orang Papua tidak
mau jadi kuli bangunan.
Merencanakan rumah tahan gempa adalah upaya menata masa
depan, dan menyelamatkan harta waris bagi anak cucu. Untuk itu, sebelum
mendirikan rumah, faktor-faktor yang disebutkan diatas adalah hal-hal yang
perlu dipikirkan. Selain itu, penataan ruang (kamar-kamar), perlu disesuaikan
dengan penghuni (orang yang tinggal
dalam kamar itu), agar beta tinggal di rumah (kamar). Misalnya, kamar tidur
anak, memberi berbagai warna, dan dilengkapi dengan mainan dalam kamar
tersebut. Hal ini membantu ”mengatasi” anak balas belajar dan bermain dengan
teman sebaya di lingkungan sekitar rumah itu berada.
Mengurangi dan membayar biaya listrik secara hemat,
dilakukan dengan cara memanfaatkan pencahaayaan alami (siang hari/ pencahayaan
matahari). Banyak rumah-rumah (orang Papua) lebih banyak yang menggunakan batu
batako dengan pelesteren dinding dan
memberi jendela apa adanya. Tanpa
memikirkan kenyamanan, dan kesehatan dalam rumah. Terutama dalam pemanfaatan
pencahayaan alami. Dengan kita memberi banyak bukaan (jendela) yang menghadap
ke timur atau barat, akan memberikan kenyamanan dalam rumah. Ukuran jendela
disesuaikan dengan besar kamar yang akan menerangi. Dengan memanfaatkan
pencahayaan alami ini, maka kita sudah dapat “mengatasi” (mengurangi) dan
menghemat biaya listrik.
Banyak
rumah di Papua, lebih cenderung menggunakan pencahayaan buatan (listrik) pada
siang hari. Sehingga, ini akan berdampak pada pemborosan, dan pembengkakan
biaya pembayaran listrik (rekening tagihan listrik). Lebih jauh dari itu,
selalu terjadi pemutusan listrik secara bergiliran. Di Paniai pada bulan Maret
2008, hampir satu minggu mati listrik (kehabisan solar). Mengapa? Karena banyak
rumah yang ada jaringan listrik memasan listrik pada siang hari. Sementara, di
Paniai adalah kondisi alam yang sangat baik untuk memasukan pencahayaan alami
dan penghwaan alami (angin). Pencahayaan alami (siang hari) itu gratis (tanpa
bayar) tidak seperti pencahaayaan buatan. Sehingga, kita dapat memanfaatkan
dengan desain arsitektural dalam merancang bangunan rumah tinggal atau pun
bangunan jenis lainnya (misalnya, kantor-kantor pemeritnah dan swasta).
Tanah
Papua adalah tanah yang kaya (dipenuhi) dengan hutan rimba, dengan beragam
jenis pohon. Satu pertanyaan yang layak diajukan bagi orang Papua adalah
mengapa orang Papua lebih sering atau “suka” menggunakan batu/ batako dengan
dinding masif (tertutup). Apakah itu yang disebut dengan bangunan modern?
Mengapa kita (orang Papua) tidak mau atau malas tahu dengan hutan kita?
Sementara, orang China (insfestor asing) berusaha mati-matian untuk mendapat
kayu-kayu itu, dengan berbagai cara. Belum terlambat karena hutan kita masih
banyak, yang kita bisa manfaat untuk segala keperluan, terumata dalam
penggunaan bahan bangunan (rumah). Lalu pertanyaan lainnya adalah apakah sumber
daya manusia sudah siap untuk mengelola hutan itu? Karena orang Papua tidak ada
orang yang “mau” jadi kuli bangunan (tukang kayu).
Menghargai bentuk
ciri khas Papua
Setelah kita mengatur manusia
dan lingkungan sekitar, langkah selanjutnya adalah membentuk arsitektur berciri
khas Papua. Setiap suku bangsa di dunia memiliki arsitektur
dengan bentuk dan ciri khas masing-masing. Bentuk-bentuk yang berbeda ini di
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan setempat (sosial budaya, geografis, ikllim
dan lain sebagainya). Sehingga rumah (arsitektur) yang mereka
(leluhur) hadirkan juga sesuai dengan kondisi lingkungan ini.
Untuk itu, dalam membangun dan membentuk arsitektur Papua, tidak perlu
mengadopsi bentuk-bentuk dari daerah lain (luar Papua). Seringkali manusia
Papua saat ini menggangap bentuk-bentuk rumah baru “moderen” itu
yang terbaik, aman, nyaman. Tetapi, satu kekawatiran (bagi saya) adalah manusia Papua sedang kehilangan bentuk
dan ciri khas arsitekturnya. Hal ini, diperparah dengan belum adanya upaya
pendokumentasian oleh semua pihak terkait (pemerintah, masyakarat, LSM). Lebih
jauh dari itu adalah mahasiswa asal Papua yang kuliah di jurusan teknik
arsitektur, tidak pernah berpikir tentang hal ini.
Satu pekerjaan rumah (PR) yang sampai saat ini kita
(orang Papua) belum jawab adalah kurangnya kesadaran diri untuk menghargai
(terima dengan apa adanya) terhadap hasil karya nenek moyang kita (arsitektur
tradisional Papua). Selain itu, setiap suku yang ada di Papua mempunyai bentuk
dan ciri kahs arsitektur yang beragam. Sehinga ini adalah kekayaan orang Papua
yang perlu di jaga dan dilestarikan (bukan sama sekali bentuk tradisional
secara menyeluruh). Tetapi, yang perlu dipertahankan disini adalah bentuknya.
Karena kita tidak dapat dipungkiri bahwa,
perkembagnan jaman menutut perubahan segala aspek kehidupan manusia
(termasuk didalam adalah perubahan bentuk/ atau
justru kehilangan bentuk arsitektur).
Perkembangan tekonologi informasi, membawa dampak positif
dan negatif. Dampak positif yang dimaksud disini adalah dengan hadirnya
berbagai software (AutoCAD, 3D max,
Sketh-up, map-info, dll). Perangakat lunak berbasis IT ini memudahkan kita
(para arsitek, perencana kota dan pengambil kebijakan) untuk tetap menghargai bentuk-bentuk
arsitektur tradisional. Dengan tetap menggunakan bahan bangunan yang modern
sekalipun. Dengan bantuan software semacam
ini. Sementara itu, dampak negatif yang
memegaruhi kehilangan arsitektur Papua saat ini adalah anggapan manusia akan
suatu bentuk arsitektur ”baru” yang
selalu dianggap ”baik dan benar”. Dan lebih jauh dari itu,
suatu bentuk ”penjajahan” dan ”hegemoni” negara untuk menghilangkan
bentuk-bentuk arsitektur Papua.
Satu
hal yang perlu diketahui orang Papua (generasi muda) adalah perlunya, kesadaran
diri untuk menghargai dan mencintai
hasil karya leluhur. Mengapa? Karena bentuk-bentuk arsitektur tradisional
merupakan ”jati diri dan indentitas” bagi yang memilikinya (bangsa Papua).
Menurut hemat saya, orang Papua saat ini telah mengidap virus budaya ”ikut
ikutan” tanpa memerdulikan (memikirkan atau menanyakan) asal usul bentuk
arsitektur yang baru dibangun itu.
Asrama Mahasiswa Papua
”Kamasan I”, Yogyakarta. 22 Oktober 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar