Foto Ilustrasi (Sumber. www.google.com) |
Tulisan ini saya menulis bukan untuk
mengakimi Agama [gereja], namun lebih kepada orang yang selalu mengatasnamakan
agama sebagai alat untuk menolak atau menerima cinta. Selain itu, tulisan ini
hanya sekedar sebagai cerita pengalaman pribadi [curhat], dengan maksud agar
jangan ada orang lain yang mengalami apa yang pernah saya alami.
Berikut ini
adalah kisah singkat, yang saya alami. Saat itu, tanggal 30 Juni 2008, pukul
06:00 pagi, saya ditelepon oleh pacar
saya, dan mengatakan bahwa “amo, bapa bilang nanti sore datang ke rumah. Lalu,
saya tanya, untuk apa? Tidak tahu pokoknya bapak bilang bawah dengan orangtua.
Sekitar jam
tiga sore saya datang ke rumah pacar saya, dan disana banyak orang menunggu
kedatangan saya. Walau, saya diundang dan diminta membawa orangtua atau
keluarga, tetapi saya datang seorang diri. Karena yang berbuat saya, bukan
orangtua atau keluarga saya. Singkatnya, berani berbuat, berani
bertanggungjawab.
Setibanya
disana, saya ditanya oleh ayahnya, “anak agama apa”? lalu saya menjawab, saya
agama Kristen Protestan. Lalu, bapak dan mamanya, mulai mencari akal untuk
menolak saya. Alasannya, saya agama lain [beda agama].
Sementara,
bapak adiknya, membelah saya karena dia juga kebetulan sama agama dengan saya.
Namun, bapak dan mama tetap mempertahankan, argument mereka bahwa, siapapun
dia, anak kami tidak boleh ada yang kawin [nikah] dengan orang yang beda agama.
Jika, kembali
melihat kehidupan masa lalu, orang Mee tahu adanya Tuhan. Dalam hal kawin-mawin,
orang Mee tidak pernah memandang siapa dan darimana seorang itu datang. Tetapi,
pertimbangan utamanya, adalah siapa dia dan apa yang dia lakukan.
Kehidupan
manusia Mee sudah berubah, berubah karena perubahan jaman dan pengaruh luar dan
dalam. Judul tulisan ini sengajah penulis tulis dengan sebuah pertanyaan.
Karena, bagi saya sebagai manusia Mee yang baru mengenal kehidupan agama,
social dan budaya. Agak, bingun ketika melihat dan merasakan, tidak sedikit
orangtua, yang menolak untuk menjadi mertua, baginya, alasannya adalah beda
agama.
Untuk itu,
menjawab sebuah pertanyaan yang menjadi judul diatas ini adalah berpulang pada
diri pribadi pembaca. Penulis sengaja menulis tulisan ini dengan bentuk pertanyaan, karena disisi lain penulis sebagai
manusia pernah mengalami hal ini, sementara sebagian orang di Mee juga mungkin bukan karena pengalaman pribadi saja, tetapi telah banyak
orang Mee di Papua atau bahkan mungkin pernah di alami oleh bukan orang Mee di
Papua. Mengapa? Karena mencari jodoh tidak selalu di gereja, tetapi banyak
tempat untuk orang mendapatkan cinta.
Bila semua orang muda mendapat calon suami atau istri di
gereja [tempat ibadah] boleh saja “agama” atau orang “KTP” agama melarang anak
atau keluarganya menikah dengan orang beda agama. Misalnya agama Kristen
Katholik dan Agama Kristen Prostestan.
Tugas agama “gereja” adalah menyelamatkan umatnya yang
telah dan sedang keluar ke ajaran sesak. Namun, kenyataan bahwa banyak orang
Mee di Papua yang justru tidak mau mengikuti ibadah-ibadah yang ditentukan oleh
gereja, karena di anggap gereja tidak lagi tempat untuk menyelamatkan umatnya
didunia perkawinan.
Sejumlah orang yang penulis
mewawancarai, mengatakan bahwa kekuatan agama masih kurang dan bisa
mengalahkan. Alasannya, bila cinta yang dibangun itu benar-benar jodoh, apapun
alasan, tinggal alasan. Pasti, mereka akan menikah walau beda agama.
Menurut
pantauan pribadi penulis, di Meeuwo banyak orang Mee yang tidak menikah karena
orangtuanya melarang menikah dengan pacar sebelumnya. Selain itu, masih banyak
orang Mee yang mungkin karena kurang iman, kepada Tuhan.
Namun, dipihak
lain agama adalah mulia. Menyampaikan firman Tuhan, tetapi kadang, lidah bisa
membelokkan berita yang mulia itu. Semoga anda tidak mengalami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar