KAWASAN PASAR KARANG NABIRE (Foto Yunus Yeimo) |
Jaman berubah. Duniapun berubah. Wajah kota-kota yang
menyelengarakan pemilihan kepala daerah [PEMILUKADA], pun ikut berubah. Namun, sanyangnya perubahan itu terjadi
hanya diatas pohon dan tiang-tiang setinggi 1-3 meter lebih, di perempatan,
sepangjang jalan dan disudut-sudut jalan di kota dan Kampung.
Namun, semua
itu menjadi indah hanya sekedar atau
sementara. Umur warna-warni kota ini, kini kita bisa
menghitung dengan jari. Disisi lain,
warna-warni kota yang begitu indah itu akan menjadi sesuatu yang tidak enak
dipandang, atau akan menjadi sampah perkotaan yang membutuhkan waktu, dan
tenaga untuk membersihkannya.
Bila kita keliling kota, yang
menyelenggarakan Pemilukada, disana-sini warna-warni kota yang begitu indah. Namun, sayangnya keindahan
itu, bukan merupakan keindahan kota secara permanen. Tetapi, keindahan “musiman”. Sehingga, kita bisa menyebut musim aneh. Karena terjadi lima tahun sekali. Anehnya lagi, keindahan itu bukan sesuatu
bunga yang menghasilakan bau yang harum.
Bau itu, bisa berubah menjadi aroba tidak sedap yang bisa
mematikan, membuat stres dan depresi. Sedangkan, bau aroma yang sedap itu,
menjadi aroma harum bagi pribadi atau kelompok tertentu. Lupa diri dan lupa
kerluarga. Ya, wajar lupa semua karena tidak tumbuh dari akar. Maka, sumber terjadi wajah-wajah itu berarti perubahan itu belum
dimuai dari akarnya.
Wajah calon bupati dan wakil bupati atau
calon legislatif (Cabub-Cawabub/ caleg) itu mulai bermunculan di berbagai sudut
kota, dengan berbagai cara dan persepsi yang menurut mereka dapat mendapat
suara yang sebanyak mungkin. Mengapa kota yang sebelumnya, belum begitu indah
dan padat, tiba-tiba menjadi padat dan dihiasi oleh berbagai warna?
Selain itu,
mengapa wajah para Cabub-Cawabub, itu lebih banyak di penuhi di sekitar pusat-pusat
kota dari pada kampung/ perdesaan? Fenomena wajah para kandidat, ini lebih
fokuskan pada sepanjang ruas jalan, dan lebih banyak di perempatan di sudut
kota. Dengan harapan, orang akan melihat wajah dan membaca tulisan yang
terdapat pada papan baleho, poster dan stiker.
Mengapa wajah-wajah ini lebih banyak ditonjolkan di area
kota dari pada kampung? Untuk menjawab pertanyaan semacan ini kita mengutip
pendapat para ahli yang pernah mendefinisikan tentang arti istilah kota. Misalnya
Amos Rapoport berpendapat “kota adalah suatu permukiman yang
relatif besar, padat, dan permanen, terdiri dari kelompok individu-individu
yang heterogen dari segi sosial”. Untuk itu, jika kita melihat wajah kota saat ini tidaklah salah karena
definisi klasik ini mendasari aktifitas manusia di perkotaan lebih padat dan
lebih kompleks.
Munculnya, wajah-wajah baru dan warna-warni di perkotaan
ini akan mempengaruhi aktivitas masyarakat kota. Para pengguna jalan, mau dan
tidak mau memandang wajah-wajah itu, untuk sekedar melihat wajah orang, atau membaca pesan singkat, atau bahkan mencatatat nomor handphone yang
terpampang.
Fenomena wajah yang begitu cepat, dan berubah ini, diakibatkan oleh beberapa hal seperti yang dikemukakan
oleh Joerge E. Hardoy, yang
dikutip oleh Amos Rapoport untuk memperjelas atas definisi kota yang ia kemukakan diatas. Hardoy,
menggunakan 10 kriteria secara lebih spesifik untuk merumuskan kriteria sebuah kota
sebagai berikut: 1). Ukuran dan jumlah penduduknya besar terhadap massa dan
tempat, 2). Bersifat permanen, 3). Kepadatan minimum terhadap massa dan tempat,
4). Struktur dan tata ruang perkotaan seperti yang ditunjukan oleh jalur jalan
dan ruang-ruang perkotaan yang nyata 5). Tempat dimana masyarakat tinggal dan
bekerja.
6). Fungsi perkotaan minimum yang diperinci. Meliputi
sebuah pasar, sebuah pusat administratif (pemerintahan), pusat militer, pusat
keagamaan, pusat aktivitas intelektual/ pendidikan, 7). Heterogenitas dan
pembedaan yang berdifat hirarkis pada masyarakat, 8). Pusat ekonomi perkotaan
yang menghubungkan, sebuah daerah pertanian di tepi kota dan memproses bahan
menta untuk pemasaran yang lebih luas, 9). Pusat pelayanan (service) bagi daerah-daerah lingkungan setempat, 10). Pusat
penyebaran informasi, memiliki suatu falsafa hidup perkotaan pada massa dan
tempat itu.
Bila kita melihat pendapat Hardoy, tidaklah salah bila
para kandidat itu menampilkan wajah-wajah mereka lebih banyak di
perkotaan dari pada di perdesaan atau kampung. Sosialisasi
melalui poster, stiker dan baleho yang memuat wajah-wajah para kandidat, telah sedang dan akan terpasang di berbagai sudut kota dengan pesan-pesan
singkat yang begitu menggoda para pemilih pada saat pemunggutan suara.
Sehingga, disini rakyat diminta untuk memahami, melihat
dan menentukan, siapa yang benar-benar berbicara untuk membangun kota atau
Kabupaten tersebut. Disisi lain, poster, stiker
dan baleho ini menjadi malapetaka bagi pengguna jalan raya, dimana wajah kota
menjadi berubah, misalnya tanda-tanda rambu lalulintas menjadi tidak terlihat,
lampu traficlight tertutup, sehingga
bisa menimbulkan korban jiwa. Untuk, itu panwas pemilu perlu memperhatikan
hal-hal ini.
Cara-cara
seperti ini memang merupakan trend
baru didunia perpolitikan setelah diberlakukannya pemilihan langsung (pilkada)
yang tidak kita jumpai dalam pemilu-pemilu yang lalu. Selain itu, para kandidat juga tidak lupa cantumkan nomor telepon seluler [nomor HP) di media
publikasinya. Tetapi
yang perlu diketahui oleh rakyat adalah pemilu
bukanlah memilih wajah (ebe peka) yang telah
terpampang di jalan-jalan.
Tetapi menurut hemat saya, nomor-nomor Handphone itu adalah nomor sementara, karena kenyataan bahwa jika
mereka terpilih sebagai bupati
atau anggota wakil rakyat di kursi empuk. Maka, nomor HP
seperti ini kadang di luar jangkauan, padahal orangnya ada bersama masyarakat
yang mendukung dia untuk naik mobil plat merah.
*)
Penulis adalah Staf Pegawai Bina Marga dan Cipta Karya pada Dinas Pekerjaan
Umum [DPU] Kabupaten Deiyai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar