Minggu, 10 November 2013

MATI BANYAK; GARA-GARA PACARAN + HP = HIV/ AIDS

Foto Ilustrasi (Sumber: www.google.com)
Jika orang luar Papua, mati atau kena HIV/ AIDS karena menggunakan jarum suntik, maka giliran orang Papua, kena HIV/ AIDS, saat ini karena bermula dari Berpacaran dan Bercinta yang diakhiri dengan melakukan hubungan seks dengan sarana Teknologi Informasi Handphone [HP]. Pernyataan berikut ini cukup mewakili apa yang terjadi saat ini, dan cukup memberi penjelasan atas judul tulisan diatas ini. “Nai tika ko aku kai ma kou ma enaida toune kitouyoka,
dimi ubai, mana ubai tete bago ena bobiya dani tei ke tai, ito kouko, kei daka ganeida make mana kei ya kida to uwetai, kouda to uwetai, epa beu gate kouko, Mee wido dani kodo mogai ma bokai pigai, okeiyaka ko ena ga te kodoya”  [artinya, anak dulu kami kalau mau berhungan badan, kami harus putar otak, cari kata-kata untuk membujuk mama-mama, kita cari kata-kata dan pikiran itu seperti kita keliling gunung, butuh waktu cukup makan jam. Tapi, sekarang dengan hadirnya handphone, gampang tinggal SMS/ telepon, nanti ketemu disini/ atau disitu. Jadi, hati-hati, gunakan HP baik-baik, karena ingat banyak anak muda yang akan mati karena melakukan perbuatan layaknya suami-istri diluar pernikahan yang sah]
Pernyataan diatas ini merupakan sebuah ungkapan yang pernah diungkapkan oleh seorang Bapak bernama Lukas Nawipa, Pegawai BPMK, Paniai.  Ketika penulis menanyakan, tentang bagaimana seorang suami dan istri melakukan hubungan badan [seks] pada waktu dulu dengan saat ini? Rupanya, bapak Nawipa  yang sehari-harinya bekerja di Kantor BPMK Paniai di Madi ini tidak pernah luput  untuk mengamati dan membandingkan apa yang pernah terjadi pada orangtuanya pada masa lalu, dan apa yang dilakukan oleh orang Mee saat ini dalam hal hubungan badan atau layaknya suami istri.
Sebuah pernyataan yang polos, ini mengindikasi bahwa orang Mee masih belum mengerti arti pentingnya berpacaran. Contoh lain yang memotivasi orang Mee melakukan hubungan seks adalah jika dua orang berpacaran [berdua] jalan di tempat yang jauh dari rumah, maka keluarga pihak perempuan akan datang minta denda perzinahan, walaupun si perempuan belum mengaku apakah benar atau tidak, dan belum ada saksi yang menyasikan hal itu. Tetapi, pihak perempuan, beranggapan bahwa bila jalan sama-sama, maka pasti mereka sudah melakukan hubungan layaknya suami istri.
Untuk itu, menurut hemat saya perlu membangun pemahan tentang arti pentingnya berpacaran, untuk apa orang berpacaran? Apa yang harus diperbolehkan selama pacaran? Apa saja yang tidak boleh dilakukan selama menjalani pacaran? Apa yang menjadi alasan orangtua melarang berpacaran? Apa ajaran budaya Mee tentang berpacaran? Dan lebih penting lagi adalah apa dampak negatif dan dampak positif dari pada pacaran itu sendiri? Dan sebagainya, dan seterusnya.
 Generasi muda suku Mee [terutama anak-anak sekolah tingkat SLTP dan SLTA], saat ini tidak mengerti arti dan fungsi pacaran. Tetapi, mereka hanya tahu melakukan praktek berpacaran. Ini harus [perlu] waspada atas tindakan ini. Jika tidak waspada, dari sekarang mereka akan kehilangan masa depannya yang gemilang itu.  
          Tanggal 11 Desember 2010, saya berdiskusi dengan sejumlah siswa, topik diskusi tentang pacaran dan cinta. Pertanyaan pertama yang saya ajukan kepada mereka adalah “menurut kalian pacaran itu apa”? secara spontan mereka menjawab, “aah pak guru tidak tahu saja, pacaran itu kan magi to”. Saya terkejut mendengar jawaban yang disampaikan oleh siswa itu.
Satu dampak negatif [menurut saya] yang timbul di kalangan anak-anak muda saat ini adalah dengan kehadiran teknologi informasi dan komunikasi seperti handphone. Kehadiran HP dengan tujuan yang baik, agar manusia dapat berkomunikasi, memperlancar bisnis, dan sebagainya. Namun, kenyataan di kalangan orang Mee berbicara lain [salah gunakan].


Penyakit ini memang terus mengalami peningkatan, sebagai total data terakhir dari Komisi  Penanggulangan AIDS (KPA) Papua,  hingga bulan September 2010 terdapat 6.300 lebih kasus  HIV/AIDS di Tanah Papua, walaupun berbagai upaya KPA bersama dinas terkait selalu memberi  informasi dan membantu, sehingga dibutuhkan pentingnya ada kesadaran masyarakat untuk  mengunjungi tempat Voluntary Counseling and Testing (VCT) adalah tes HIV yang dilakukan  secara sukarela. akan tetapi angka ini sewaktu-waktu bisa bertambah dan berkurang.  Bayang-bayang pelajar dalam bahaya HIV/AIDS di tanah Papua, bukan hal yang tidak mungkin,  sebab dari 6.300 lebih kasus yang ada, termasuk didalamnya usia antara 15-49 tahun atau usia  produktif, termasuk pelajar dan mahasiswa.  "Saat ini dari total data yang ada, khusus pelajar telah mencapai 35 persen, sehingga menjadi upaya untuk terus dilakukan sosialisasi di tingkat sekolah juga," ujar Constant Karma, Ketua KPA Papua, kepada JUBI di Jayapura, Jumat (18/3).

Tidak ada komentar: